SEJAK dilantik oleh Mendagri pada 12 Februari 2025, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terus dihadapkan dengan permasalahan pengisian jabatan, baik di lingkup ASN maupun lembaga. Penunjukan Plt Sekda, Plt Dirut Bank Aceh, atau Dirut PT PEMA adalah beberapa contohnya.
Jabatan adalah posisi yang menggiurkan. Di sana ada kemewahan, fasilitas, dan prestise. Sebagian orang akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya, bahkan bisa dengan melanggar hukum sekalipun.
Sebagai “pendatang baru” yang berasal dari luar birokrasi, Gubernur Muzakir Manaf atau Mualem (terutama) dan Wagub Fadhlullah atau Dek Fadh tentu saja belum menguasai medan. Kondisi ini mengakibatkan mereka rentan terjebak oleh permainan orang-orang lama yang sudah sangat lihai mengakali sebuah situasi.
Proses penerbitan SK Plt Sekda atas nama Alhudri, misalnya. Seperti disampaikan oleh Ketua DPRA Zulfadhli di depan forum rapat paripurna, beberapa waktu lalu, sarat dengan berbagai kelemahan. Ada dugaan maladministrasi dalam penerbitannya.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Seperti penilaian seorang aktivis LSM perempuan, karena Mualem tidak begitu menguasai seluk-beluk aturan administrasi. “Makanya mudah dipeuraba (dikibuli),” ucap aktivis tersebut.
Isu terbaru lebih kurang sama seperti insiden penunjukan Plt Sekda adalah rencana mutasi terhadap 79 pejabat eselon III dan IV. Beredar rumor ada “penumpang gelap” yang menyusup di tengah jalan saat gubernur mengajukan surat permohonan persetujuan mutasi ke Kemendagri. Mualem mengusulkan si A tiba-tiba yang keluar nama si B.
Dugaan itu diperkuat dengan beredarnya daftar nama calon pejabat yang akan dimutasi lengkap dengan nama oknum yang merekomendasikannya. Meskipun belum bisa dibuktikan, gejala itu menjelaskan bahwa kondisi birokrasi Pemerintahan Aceh yang dipimpin Mualem sedang tidak baik-baik saja.
Bukti lain, draft mutasi itu sudah bocor sejak jauh-jauh hari. Ini dapat diartikan, ada pengkhianat di lingkaran gubernur Aceh.
Rencana pelantikan 79 pejabat itu juga tidak sepi dari rumor transaksional. Konon kabarnya ada yang harus membayar Rp 300 juta untuk sebuah posisi eselon III.
Berdasarkan beberapa pengalaman di awal masa pemerintahannya, Gubernur/Wakil Gubernur Aceh yang memiliki sederet tim ahli yang hebat-hebat, jangan sampai dikerjain lagi. Jangan mudah dikelabui.
Gubernur dan Wagub perlu kehati-hatian dalam mengurus Aceh dengan dinamika politik yang tinggi, karena banyak orang yang rakus jabatan. Hati-hati, Mualem. Banyak mafia di sekeliling yang terus memanfaatkan situasi dan bisa-bisa menjebak Anda!