Opini  

Maraknya Pungli di Sekolah Negeri, Ombudsman Bisa Apa?

Avatar photo
Sebuah tim sedang membahas rencana counter berita pungli di salah satu MIN di Banda Aceh (foto: Ist)

TAHUN ajaran baru seharusnya menjadi momentum kegembiraan bagi anak-anak dan orang tua. Sayangnya, setiap tahun pula perilaku culas terus diulang di lingkungan sekolah negeri. Praktik yang berlangsung telanjang di depan, tapi terkesan dibiarkan.

Kasus terbaru (dari sekian banyak yang tak terungkap) menimpa seorang petani cabai di Rukoh, Banda Aceh, yang “gagal” mendaftarkan anaknya di salah satu sekolah negeri. Seharusnya, kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan.

Iklan

Kita patut berterima kasih kepada Pak Halim yang telah berani mengambil resiko mengungkap praktik pungli. Sebab, biasanya korban pungli tidak akan pernah menjadi pahlawan.

Tapi, setidaknya, Pak Halim sudah berjasa besar menyuarakan penderitaan kaum lemah, menyuarakan kesewenang-wenang oleh pelaksana pemerintahan yang harusnya melayani; bukan menindas. Petani revolusioner tersebut tidak tunduk pada sistem yang sudah semakin busuk.

Sejatinya selain sering terjadi, modus pungli pun cukup beragam. Yang jamak terjadi, antara lain, penjualan seragam secara eksklusif di sekolah, pembelian buku paket yang seolah wajib di sekolah, pungutan uang pembangunan berkedok sumbangan sukarela komite seperti yang terungkap dari kasus yang dibongkar oleh Pak Halim, hingga pungutan uang seleksi jalur mandiri dengan dalih pembangunan ruang kelas baru. Semua ini dibungkus rapi dengan narasi “demi peningkatan kualitas pendidikan” namun di balik itu tersembunyi bisnis kotor oknum-oknum di sekolah yang bersekongkol dengan komite sekolah.

Sayangnya kita menemukan kenyataan bahwa penyimpangan ini seolah-olah sudah merupakan hal normal dan “layak” ditolerir. Kita seperti tak berdaya. Kita butuh lebih banyak Halim-Halim lainnya yang memilih berdiri tegak memperjuangkan keadilan dan menolak “kebangsatan” sistem yang sudah cukup mengakar ini.

Masalahnya memang cukup kompleks. Banyak orang tua yang enggan melapor dan memilih “ya sudah bayar saja asal anak bisa sekolah”. Ini bukan tanpa sebab, mereka khawatir anak mereka mendapat perlakuan tidak adil. Lebih menyakitkan lagi, Komite sekolah yang idealnya menjadi jembatan aspirasi dan pembela kepentingan orang tua justru sering kali menjadi tameng yang melindungi berbagai jenis kutipan yang justru “menzalimi” orang tua siswa.

Lebih miris lagi Dinas Pendidikan atau instansi yang mewadahi sekolah maupun madrasah terkesan tutup mata. Jikapun ada kasus yang terungkap, hukuman atau efek jera nyaris tak terlihat. Itu sebabnya praktik ini semakin sulit dihentikan, para pelaku seakan mendapat angin. Sudah terbongkarpun tetap masih aman. “Hana so kejeut ngon kei (tidak ada yang berani dengan saya).”

Ombudsman RI memang telah melakukan berbagai langkah untuk menjalankan fungsi pengawasannya mulai dalam bentuk sosialisasi maupun kerja-kerja pengawasan lainnya. Tapi apa? Nyatanya praktik culas pungli masih saja berlangsung dari tahun ke tahun.

Dalam situasi seperti ini, sosialisasi saja tidak cukup. Ombudsman perlu bekerja lebih keras dan agresif lagi, mereka harus bertransformasi dari sekadar lembaga pengaduan menjadi motor penggerak perubahan yang melibatkan kekuatan yang lebih luas.

Banyak langkah lanjutan yabg kiranya perlu dilakukan oleh Ombudsman untuk memaksimalkan kerja mereka dalam mengawasi kebijakan publik terutama terkait dengan praktik pungli di sekolah.

Pertama, perlu ada kemitraan strategis antara Ombudsman, aparat penegak hukum (kejaksaan dan kepolisian), serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi. Kolaborasi ini diharapkan akan dapat membuat pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman menjadi lebih “bergigi”, artinya kerja sama strategis ini menjadi alat pressur tambahan terhadap dinas pendidikan dan sekolah yang masih “bermain” di zona abu-abu pungutan liar.

Kedua, buat dan sosialisasikan secara lebih massive kanal pengaduan yang menjamin kerahasiaan pelapor, misalnya dengan membuat spanduk dan memasangnya di setiap sekolah agar publik bisa semakin paham dan pastikan ada tindak lanjut konkret yang disampaikan secara terbuka agar publik percaya bahwa melapor itu berdampak.

Ketiga, perlu adanya audit secara rutin dan acak terhadap sekolah-sekolah oleh tim independen yang tidak terkait dengan dinas yang mewadahi sekolah terkait, ini diharapkan bisa menjadi langkah preventif. Audit ini juga bisa membuka praktik-praktik manipulatif lainnya yang tersembunyi di balik laporan keuangan sekolah atau komite.

Keempat, perlu adanya keterlibatan masyarakat dan media secara lebih luas dan massive dalam mengawasi dunia pendidikan, bukan untuk menghakimi guru atau kepala sekolah, tapi untuk menjaga agar pendidikan tetap berada di jalur yang bersih dan berintegritas.

Kita semua harus menyadari bahwa Pendidikan adalah ruang suci yang harus dijauhkan dari praktik-praktik kotor seperti penyalahgunaan kekuasaan. Jika kita gagal membersihkannya, maka jangan heran bila kita terus mencetak generasi yang tumbuh dengan melihat kebusukan sebagai kewajaran.

Percayalah generasi yang dididik dalam sistem yang korup akan sangat berpotensi menjadi pribadi-pribadi yang bermental korup di masa depan.

Akhirnya mari kita sambut Tahun ajaran baru harusnya dengan harapan, bukan dengan keresahan. Jadikan keberanian saudara Halim sebagai tonggak untuk membersihkan dunia pendidikan dari praktik-praktik yang menciderai nilai-nilai Integritas yang seharusnya dijunjung tinggi di sana, dan saatnya Ombudsman yang menjadi harapan bagi publik untuk tidak lagi hanya sekadar hadir, tetapi benar-benar bertindak dan berdampak.

Penulis: Ramadhan Al Faruq, Alumni IAIN Ar-Raniry

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *