Opini  

Omong Kosong “Hari Buruh”

Avatar photo

“Bayarlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”

Demikian titah Rasulullah SAW dalam memperjuangkan dan menggaungkan keadilan bagi pekerja jauh sebelum dunia mengenal istilah May Day.

Sebuah ajaran luhur yang semestinya menjadi landasan kebijakan ketenagakerjaan, namun ironisnya justru semakin asing dari realitas buruh di negeri ini, khususnya di Aceh.

Dalam beberapa bulan terakhir, saya menyaksikan sendiri kisah pilu yang menimpa para sahabat saya. Dua di antaranya diberhentikan sepihak oleh instansi tempat mereka bekerja dengan alasan klasik: krisis keuangan.

Beberapa bulan lalu dua orang teman diberhentikan dari pekerjaannya dengan alasan instansi tempat mereka bekerja sedang kesulitan finansial.

Beberapa Minggu yang lalu saya mendengar kabar lagi ada dua teman saya yang terpaksa menerima gaji mereka dipotong agar dapat terus bekerja daripada memaksa gaji penuh tapi salah satu di antara mereka harus di PHK.

Beberapa hari setelah itu saya bertemu teman lainnya dan mendengar lagi kabar lirih dari mereka bahwa dia dan teman-temannya harus menerima kenyataan bahwa gaji mereka sudah menunggak selama tiga bulan terakhir dan mereka hanya mendapatkan sedikit pinjaman sebagai “uang jalan” agar mereka dapat tetap berangkat di pagi hari dan pulang di sore harinya.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain “pasrah” daripada harus menerima nasib di berhentikan tanpa kompensasi apapun.

Gaji merekapun selama ini bisa dikatakan jauh dari kata layak, selain sering tertunda, gajinya juga tidak sampai dua juta, jauh di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi) Aceh tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 3.685.616.

Di tengah realitas memilukan ini, setiap ucapan “Selamat Hari Buruh” terdengar seperti olok-olok yang menyakitkan. Apa artinya ucapan itu bila diiringi kebijakan yang tidak berpihak pada buruh? Apa gunanya menyebut buruh sebagai “pahlawan devisa” jika negara sendiri tak mampu atau enggan memperlakukan mereka sebagaimana layaknya pahlawan?

Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 kembali menggugah kesadaran kita akan persoalan klasik yang tak kunjung usa upah yang belum sesuai dengan UMP, pemutusan hubungan kerja sepihak, dan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja.

Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil sebagaimana diberitakan salah satu media beberapa hari lalu, telah mengingatkan agar pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dan menindak perusahaan-perusahaan atau instansi yang melanggar hak pekerja.

Sementara itu, akhir-akhir ini kita sering menemukan media memberitakan ancaman PHK massal terhadap ribuan pekerja akibat dampak resesi ekonomi.

Hati siapa yang tak teriris melihat kenyataan ini? Dalam banyak kasus, para pekerja menjadi korban pertama dari kegagalan manajemen, namun justru merekalah yang paling tak memiliki daya tawar.

Ucapan “Selamat Hari Buruh” akhirnya menjelma menjadi simbol kepura-puraan negara terhadap para buruh. Ia hanya keluar dari mulut pejabat setiap 1 Mei, tanpa diiringi kebijakan yang sungguh-sungguh melindungi dan memberdayakan pekerja.

Bahkan, jika boleh dikatakan secara keras, ucapan itu bisa menjadi bentuk pelecehan terhadap buruh, menyapa dengan manis, namun membiarkan mereka menderita dalam diam.

Sudah saatnya pemerintah menghentikan retorika kosong dan mulai menata ulang arah kebijakannya.

Upah layak harus menjadi prioritas utama di Aceh. Pendidikan gratis dan berkualitas mesti tersedia dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, biar apa? Biar anak-anak buruh tak mewarisi nasib yang sama dengan orang tuanya.

Selain itu layanan kesehatan yang manusiawi dan tanpa diskriminasi kelas harus dipastikan untuk seluruh rakyat. Petani dan nelayan harus dilindungi dengan akses pada bibit, pupuk, dan pasar yang dikelola negara.

Lebih dari itu kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan melalui pelatihan kerja yang merata hingga ke pelosok kecamatan, dan lapangan pekerjaan harus berpihak pada rakyat Aceh sendiri.

Kita sering menemukan proyek yang dibayar dengan APBA malah dikerjakan oleh buruh “asing” di tengah angka pengangguran di Aceh yang masih cukup tinggi.

Pelaku UMKM harus mendapat akses permodalan tanpa bunga dan dukungan pemasaran. Harga kebutuhan pokok perlu dijaga tetap stabil dan terjangkau melalui operasi pasar. Tarif listrik, air, dan BBM harus dikendalikan agar tidak menyiksa rakyat.

Sumber daya alam Aceh mesti dikelola oleh badan usaha milik daerah demi kemakmuran rakyat, bukan dikuasai segelintir elite. Dan yang tak kalah penting, para koruptor anggaran publik harus dimiskinkan tanpa kompromi sebagai bentuk keadilan bagi rakyat pekerja.

Jika kebijakan-kebijakan seperti ini masih dianggap utopia oleh para penguasa, maka ucapan “Selamat Hari Buruh” tidak lebih dari alat propaganda, untuk meninabobokan buruh agar tetap merasa dianggap, padahal sejatinya diabaikan. Mereka dijadikan sapi perah yang terus dipajaki setiap tahun, namun tak pernah mendapatkan perlakuan sebagai pemilik negeri.

Sudah cukup buruh menjadi objek politisasi tiap musim kampanye. Sudah saatnya mereka diakui sebagai pemilik sah tanah air ini, bukan sekadar roda ekonomi yang bisa diganti kapan saja. Wahai para buruh, bersatulah. Bangkitlah. Suarakan hakmu, dan jangan biarkan lagi negeri ini mengucapkan selamat tanpa tindakan.

Semoga tahun-tahun ke depan benar-benar menghadirkan perubahan nyata bagi para buruh di Aceh dan seluruh Indonesia, bukan sekadar memperdengarkan ucapan basa-basi yang terus-menerus mengkhianati kenyataan.[]

Penulis, alumni IAIN Ar Raniry Darussalam, Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *