“Haba mangat jeut keu penyaket, haba pheit jeut keu penawa”.
Demikianlah pepatah Aceh untuk menegaskan betapa pentingnya kritik untuk perbaikan. Juga, betapa bahayanya pujian yang justru bisa menghancurkan.
Ya, publik Aceh kembali gaduh setelah terungkap adanya anggaran tong sampah di Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh dengan nominal cukup besar; mencapai angka 7 milar rupiah.
Kebijakan Disdik Aceh mengalokasikan dana untuk pengadaan tong sampah HDPE di sejumlah SMA/SMK Negeri telah menuai kritik tajam dari publik.
Bukan tanpa dasar. Kritik ini adalah bentuk kegalauan publik. Betapa tidak? Di tengah berbagai persoalan mendasar seperti rendahnya kemampuan literasi, lemahnya numerasi, hingga minimnya pelatihan bagi guru, Disdik justeru lebih mengutamakan tong sampah, kebijakan yang sama sekali tidak menyentuh akar masalah pendidikan di Aceh.
Inilah salah satu bentuk salah urus pendidikan — dari sekian lainnya — akibat salah penempatan SDM. Kebijakan yang diproduksi oleh sosok-sosok yang tidak memahami basis pendidikan, sehingga mencederai upaya peningkatan mutu pendidikan daerah ini.
Yang harus disadari bersama bahwa kritikan terhadap kebijakan pemerintah semacam ini sejatinya bukanlah cerminan kebencian. Sebaliknya, kritik yang disampaikan masyarakat adalah bukti nyata dari rasa cinta yang tulus kepada dunia pendidikan Aceh.
Publik tentu tidak boleh membiarkan anggaran pendidikan digunakan untuk hal-hal yang “dinilai” tidak relevan dengan kebutuhan mendasar para siswa dan guru.
Inilah wajah demokrasi yang sehat. Publik berani dan secara ikhlas menyuarakan aspirasi masyarakat tanpa harus takut terintimidasi.
Rakyat tidak boleh diam, mereka harus terus berperan aktif menyuarakan kepentingan ummat. Kritik publik adalah alarm yang menyadarkan pemerintah bahwa ada yang harus dikoreksi atau minimal dikalkulasikan ulang dari kebijakannya.
Hal ini tentu harus kita dukung bersama. Kita layak memberikan apresiasi atas keberanian masyarakat Aceh yang terus bersuara dan mengawal arah kebijakan pemerintah.
Mereka tidak diam, tidak menyerah pada apatisme, mereka tidak berkata “Kapeuget laju peu yang galak awak kah”.
Sekali lagi suara kritis mereka sebrutal apapun itu harus dilihat sebagai suara yang ingin pendidikan kita lebih berpihak pada masa depan, bukan pada kepentingan pragmatis jangka pendek segelintir oknum pejabat. Kontrol publik seperti inilah yang akan menjaga agar setiap rupiah dari APBA digunakan sebijak mungkin.
Di sisi lain, kita juga perlu menghargai sikap terbuka dari Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Bagaimana tidak? Di tengah gelombang kritik, ia tidak bersikap defensif atau mengintimidasi. Martunis menyikapi kritikan yang dilemparkan publik dengan cara yang cukup elegan.
Ia memberikan klarifikasi dan bahkan juga membuka ruang diskusi seperti yang dilakukan akhir tahun lalu dengan mengadakan refleksi akhir tahun dan melibatkan publik. Padahal ia belum pun setahun menjadi kepala dinas pendidikan, bangku panas yang banyak mendapat sorotan.
Adalah sikap langka dari seorang pejabat publik. Ia menunjukkan bahwa suara rakyat bukan ancaman, tetapi justru menjadi masukan layaknya vitamin dan obat. Ia menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi. Komitmen terhadap integritas dan keterbukaan seperti ini seharusnya menjadi standar baru dalam kepemimpinan birokrasi kita di nanggroë Syariat ini.
Meski demikian, harapan tetap harus terus disuarakan. Martunis dan jajarannya perlu lebih selektif dan berhati-hati dalam merespon tekanan dan agenda politik dari pihak tertentu yang nantinya bisa saja kontraproduktif dengan upaya pembenahan dunia pendidikan kita.
Kita semua tentu tidak ingin kasus seperti pengadaan wastafel di masa lalu terulang kembali dan menyeret nama-nama dari Dinas Pendidikan ke ranah hukum. Pengalaman pahit itu harus benar-benar dijadikan sebagai pelajaran.
Setiap kebijakan harus lahir dari kebutuhan riil pendidikan, bukan dari tekanan politik atau motif proyek semata. Ya, kita juga tahu tidak semua program pembangunan adalah hasil perencanaan teknokratis. Sebagian sangat politis. Seperti dana pokir anggota parlemen yang sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat.
Untuk masyarakat Aceh yang menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan, kita tidak boleh berhenti, kita tidak boleh lelah bersuara. Teruslah kritis untuk menjadi pengawal yang senantiasa memberikan warning agar pemerintah di bidang pendidikan tidak salah arah.
Pendidikan adalah fondasi utama masa depan, dan jika fondasi ini dibiarkan retak oleh salah arah kebijakan, maka kita semua akan menanggung akibatnya.
Sekali lagi kita harus menggarisbawahi bahwa suara kritis masyarakat bukan kebencian, melainkan cahaya yang bisa menuntun arah pembangunan. Negara ini tidak akan hancur oleh suara kritis masyarakat, tapi akan porak poranda oleh ambisi dan ego pejabat korup, anggota parlemen yang lupa tugas perwakilan rakyatnya, atau pengusaha yang hanya memikirkan kepentingannya.
Padahal urusan pendidikan bukan seperti urusan pembangunan lainnya. Jika salah urus, bukan hanya gagal panen semusim seperti di sektor pertanian, ia bisa menghancurkan manusia bergenerasi ke depan.
Membangun pendidikan Aceh membutuhkan semangat kolaboratif. Pemerintah harus terbuka terhadap kritik, sementara masyarakat harus terus aktif menjaga dan mengawasi.
Pendidikan Aceh harus bangkit. Dan, untuk itu, kita semua harus ambil bagian. Kita semua bertanggung jawab memastikan bahwa pemerintah tetap berjalan di atas rel kebenaran dan kejujuran.
Sektor pendidikan tidak boleh jadi ajang permainan politik dan bisnis. Karena, ia menyangkut kepentingan jangka pendek dan jangan panjang kita semua, bangsa Aceh dan bangsa Indonesia.[]
Penulis, alumni IAIN Ar Raniry Darussalam Banda Aceh yang juga Sekjen Kaukus Peduli Integritas Pendidikan Aceh (KPIPA)