Iswanto Off Side Lagi

Ilustrasi (foto: indonesiana.id)

SEJATINYA, Muhammad Iswanto adalah tamu di “rumah” birokrasi bernama pemerintahan Kabupaten Aceh Besar. Dia seorang ASN pengisi kekosongan kepala daerah yang dalam istilah birokrasi NKRI disebut penjabat atau Pj.

Seorang Pj hanya ditugaskan untuk mengisi kekosongan hingga dilantiknya bupati definitif. Karena itu, secara etika birokrasi, seorang Pj tidak patut bertindak terlalu jauh.

Sebagai “tamu”, Iswanto seharusnya tidak seperti “Belanda pula labu”. Mengobrak-abrik semua tatanan yang ada. 

Semua yang bersifat prinsipil itu merupakan hak prerogatif-nya kepala daerah definitif. Karena merekalah yang diberi mandat oleh rakyat. 

Pj bukan pemilik kekuasaan sesungguhnya. Meskipun setelah mendapatkan SK, seorang ASN yang diberi surat tugas sebagai Pj tetap punya peluang melakukan semua. Karena, memang, ruang kerja bupati tidak boleh dimasuki oleh siapa saja. 

Kondisi sakral itulah yang menyebabkan seorang Pj kepala daerah merasa sangat berkuasa, punya peluang melakukan semuanya, termasuk memecat Sekda seperti yang dilakukan Iswanto. 

Rasa “pede” itu tentu saja bertambah-tambah setelah para Pj menggunakan tanda pangkat, mobil dinas, dan berbagai atribut lainnya. Maka, dalam kondisi kekosongan seperti itu, “daruet canggang” pun bisa jadi raja.

Birokrasi hanya memberi tugas kepada Pj untuk mengisi kekosongan sementara. Seharusnya, siapa pun Pj tidak boleh terlalu jauh membuat diskresi sehingga menimbulkan kegaduhan.

Saat pucuk pimpinan belum ada, tuan rumah sebenarnya adalah Sekda dan seluruh SKPK. Merekalah yang berpikir dan bekerja untuk pemerintahan dan masyarakat Aceh Besar yang tidak lain merupakan “wareh” dan sanak keluarga mereka. 

Kalau ada yang tidak beres dari hasil kinerja itu, merekalah yang akan bertanggung jawab, baik secara moral maupun hukum. Selamanya. 

Tidak seperti Pj, dia akan meninggalkan semua imbas kekeliruan yang pernah dilakukan. Iswanto akan pulang ke habitatnya, kembali menjadi kepala dinas di provinsi.

Iswanto tidak menyadari kalau dia tamu dalam relasi itu. Iswanto lupa diri. Dia merasa lebih bupati dari bupati sesungguhnya.

Karena merasa sangat berkuasa, Iswanto jemawa. 

Dia terlalu sering bikin blunder. Beberapa di antaranya, pelanggaran aturan saat mengangkat Plt direktur rumah sakit beberapa waktu lalu, pemecatan Sekda, hingga studi banding ke NTB baru-baru ini. 
Ada lagi yang terdengar agak berbau horor. Tapi, ini isu, walaupun para pejabat Aceh Besar bisa merasakan “bahang”nya. 

Banyak yang menyebut, Iswanto menggunakan seseorang sebagai centeng. Kerabatnya itu digunakan sebagai “body guard”, sehari-hari — disebut-sebut — menebar ketakutan dan ancaman di lingkungan kantor bupati. Konon, kabarnya, banyak proyek APBK dikelola oleh centeng tersebut.
Surat tugas studi banding yang tidak diparaf Sekda menjadi indikasi pola kerja one man show yang dilakukan Iswanto (foto: Ist) 
 
Isu tersebut tentu saja mudah dibantah. Tapi, mantan Sekda Sulaimi, kabarnya, pernah merasakan langsung teror orang ini. Usai pelantikan 17 Januari 2025, preman ini langsung menghampiri Sulaimi dan mengeluarkan kata-kata mengancam akan menyendutkan api rokok ke mulut Sulaimi.

Terlepas dari benar tidaknya isu tersebut, begitulah aura kekuasaan yang diciptakan Iswanto. Dengan kekuasaan yang ada di tangan plus pendekatan ke atas, dia mengobrak-abrik tatanan yang ada, seperti studi banding yang diduga mendompleng urusan di luar kedinasan ke NTB. 

Jika dugaan rekayasa itu nanti terbukti benar, hal itu sekaligus akan menjelaskan, bahwa Pj Aceh Besar itu suka bikin blunder. Iswanto off side lagi.[]
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *