ELIT pemerintahan Aceh, mungkin, sedang kehilangan akal sehat. Banyak yang memperlihatkan perilaku paradoks dan sedikit pun tak punya rasa malu.
Pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yang menyatakan Aceh masih menyandang predikat provinsi termiskin tak membuat mereka bergeming. Anteng saja. Tanpa beban, mereka justeru menaikkan tunjangan penghasilan berlipat-lipat di saat ekonomi daerah sedang sekarat.
Tampaknya, mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Bayangkan, saat rata-rata SKPA mengalami pemotongan anggaran, tapi mereka tetap mempertahankan kenaikan tunjangan. SKPA tidak punya anggaran itu artinya mereka tidak melaksanakan tugas memenuhi kebutuhan rakyat.
Ambil contoh, anggaran Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh. Seperti dipublikasikan media, instansi ini terpaksa membatalkan puluhan paket proyek akibat ketiadaan anggaran. Dengan demikian, Disdik tidak membangun fasilitas pendidikan yang dibutuhkan peserta didik.
Tidak hanya itu. Disdik juga, kabarnya, memangkas habis-habisan anggaran semua Cabang Dinas. Sehingga, unit kerja yang biasanya melakukan penguatan kapasitas guru itu nyaris tak punya aktivititas sama sekali, kecuali hanya bayar listrik dan sedikit biaya perjalanan dinas.
Sebuah info menyebut, anggaran Cabdin dipangkas dari Rp 2,5 miliar tahun-tahun sebelumnya tinggal hanya sekitar Rp 300 juta. Sangat tidak masuk akal, bukan?
Tapi, elit Aceh tetap tak peduli. Meski anggaran untuk kepentingan publik tak tersedia, mereka tetap ngotot menaikkan penghasilan. Memang di luar nalar, dengan beban kerja yang rendah tapi tunjangan justeru melimpah.
Pejabat eselon I Pemerintah Aceh, sekarang, menerima TPP hingga Rp 50 juta. Sedangkan eselon II, seperti kepala dinas, bisa mengantongi Rp 30 juta setiap bulan.
Kenaikan tunjangan yang sangat fantastis itu menjadi pertanyaan publik. Apa yang dijadikan pertimbangan? Sementara mereka tidak melakukan apa-apa.
Sudah jadi rahasia umum, kinerja para pejabat Aceh sangat buruk. Selain itu, di tengah kondisi keuangan daerah yang juga sedang sulit, lantas kenapa menaikkan tunjangan?
Semua orang juga tahu, kemampuan manajerial umumnya pejabat Aceh sangat lemah. Mereka lebih banyak menjalankan rutinitas tanpa inovasi yang bisa mengantarkan Aceh keluar dari belenggu kemiskinan.
SKPA dengan tugas ekonomi tidak terlihat perannya. Mereka, hari-hari, juga tenggelam dalam rutinitas dan agenda seremonial, sehingga peran-peran yang lebih dibutuhkan publik tak dikerjakan.
Apakah kenaikan tunjangan akan menghilangkan praktek-praktek ijon dalam pengelolaan proyek, seperti permintaan fee dari rekanan? Jangan-jangan nanti sama saja. Tunjangan tak boleh kecil, tapi semangat korupsi juga tetap tinggi!
Kasihan. Akhirnya masyarakat juga yang jadi korban. Mereka tidak mendapatkan manfaat dari kucuran dana otonomi khusus, karena sebagian besar disedot untuk membayar pos konsumtif sebeperti honor dan tunjangan pejabat, sementara untuk infrastruktur ekonomi sangat minim.[]