PENJABAT (Pj) Bupati Aceh Besar Muhammad Iswanto berkali-kali memperlihatkan kinerja yang kurang menarik. Ia terkesan suka menyepelekan aturan.
Selain itu, Iswanto juga terlihat keranjingan segala sesuatu yang berbau seremonial. Sebagai contoh, pekan lalu, dia hadir pada acara simulasi makan siang gratis yang dilaksanakan oleh sebuah SMP di kabupaten itu.
Memang, boleh saja dikemukakan justifikasi kalau acara makan siang gratis untuk anak sekolah itu merupakan inisiatif guru dan komite sekolah. Dia boleh berdalih hanya sebatas datang untuk menghadiri.
Kalau argumentasi pembenarannya seperti itu, sangat kasihan. Seorang pejabat tidak bisa membedakan mana program sungguhan dan mana sebenarnya sebuah agenda basa-basi yang belum jelas eksistensi dan keberlanjutannya.
Acara uji-coba makan siang gratis itu tidak lebih semacam “curi start” yang tidak jelas juntrungannya. Kenapa demikian?
Jangan lupa. Makan siang gratis — yang belum apa-apa sudah menimbulkan perdebatan karena tidak ada sumber anggarannya — itu adalah materi kampanye salah satu paslon Capres 2024. Belum menjadi kebijakan negara. Kalau capres itu nanti ternyata kalah, apakah program makan siang gratis tetap akan dilanjutkan?
Karena itu, uji-coba makan siang gratis adalah tindakan offside. Kalau seorang Pj bupati cerdas dan punya intuisi, dia tidak seharusnya berada di sana. Itu termasuk kategori cawe-cawe yang tidak perlu.
Tindakan yang lebih fatal lagi yang dilakukan Iswanto dalam kapasitasnya sebagai Pj bupati, terbaru, dia meninggalkan tugas tanpa menunjuk pejabat pengganti. Ini benar-benar memperlihatkan pola kerja amatiran. Tak paham aturan.
Seperti ditulis media ini, kemarin, Iswanto berangkat umroh tanpa menunjuk pelaksana harian (Plh) bupati. Coba dibayangkan, bagaimana bisa sebuah organisasi pemerintahan bisa vakum tanpa kepala daerah berhari-hari?
Karena Pj bupati itu adalah juga pejabat struktural di pemerintahan, Iswanto seyogyanya mesti tahu. Seorang pejabat eselon III saja jika meninggalkan tugas harus menunjuk seorang pengganti sementara. Apa lagi untuk ukuran seorang kepala daerah yang di tangannya bergantung nasib ribuan masyarakat?
Harusnya, sebagai pejabat eselon II yang dikirim Pemerintah Provinsi untuk bertugas di kabupaten, Iswanto menunjukkan keteladanan dalam bekerja. Ia harus memberikan contoh yang baik tentang bagaimana sebuah birokrasi yang profesional.
Pejabat provinsi harus memperlihatkan sesuatu yang lebih dibanding orang kabupaten, ide-ide brilliant dan inovatif. Jangan nampak sekali “sontoloyo”.
Kritik ini untuk perbaikan, demi kemaslahatan semua. Kritik ini bertujuan konstruktif, bukan menyerang pribadi. Karena itu, harus disikapi secara arif, bijaksana. Jangan emosional.
Selamat menunaikan ibadah puasa!