Segera Tertibkan Birokrasi Ala “Preman Jalanan”!

Ilustrasi preman jalanan (foto: inet)

BIROKRASI Aceh, saat ini, berada dalam kondisi babak belur. Nyaris tak ada pola dan abai terhadap norma.

Ada oknum kepala dinas (Kadis) yang bertindak semau gue, seakan-akan instansi pemerintah merupakan perusahaan pribadi dan keluarganya. 

Ada pula yang suka main intimidasi. Itulah “budaya” yang masih dipelihara oleh birokrasi warisan masa lalu.

Pergantian Pj gubernur adalah momentum untuk melakukan perbaikan setelah harapan itu pupus di tangan Achmad Marzuki. Jangan tunggu lama-lama lagi, sebelum situasinya berbalik, sebelum — justeru — Anda sendiri yang akan ditelikung, ditaklukkannya, nanti.

Dinas Pendidikan (Disdik) misalnya. Banyak dugaan perilaku birokrasi tak patut terjadi di sana. Kinerja instansi tersebut di bawah kepemimpinan Alhudri sangat merosot. Kepemimpinan Alhudri dinilai suka ugal-ugalan ala preman “jalanan”. 

Lihat saja bagaimana dia menempatkan pejabat yang minim kapasitas, tak menguasai tugas pokok dan fungsi. Juga bagaimana ugal-ugalannya Alhudri merekrut tenaga kontrak yang tidak punya relevansi dengan tugas pokok Disdik.

Jika menunggu pengakuan untuk membuktikan ini semua, itu tak bakalan terjadi. Mereka akan bernyanyi setelah bebas dari kungkungan, setelah merdeka dari penindasan.

Di mata banyak orang, Alhudri tidak punya kapasitas memimpin Disdik. Selain karena bergaya otoriter, juga tak punya visi. 

Penunjukannya oleh Gubernur Nova Iriansyah beberapa waktu lalu juga melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang menekankan aspek kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Alhudri tak memiliki itu semua.

Karena tak punya kapasitas, dia akhirnya menutupi kelemahan dengan cara membuat branding. Dia juga ugal-ugalan membayar buzzer dengan dana APBA untuk memoles citra seakan pendidikan Aceh baik-baik saja.

Selama ini belum ada yang mampu berhadapan dengan Alhudri. Selain lihai memilih posisi aman di bawah ketiak penguasa, dia juga membentengi diri dengan memelihara sejumlah oknum LSM dan media partisan. 

Dengan “senjata” itu pula dia acap memamerkan “taring” kepada siapa saja yang menjadi penghalang, termasuk Sekda.

Pernah kejadian usai peringatan Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) tahun 2023, Alhudri marah-marah dan menggebrak meja. Dia emosi setelah melihat ada wajah Sekda Bustami di foto dokumentasi upacara tersebut. 

Padahal, saat itu, Bustami menghadiri Hardikda karena perintah, mewakili Pj gubernur.
Itu hanya secuil contoh cara-cara intimidatif. Tentu masih banyak lagi.

Sudah waktunya untuk segera dihentikan. Selain tidak selaras dengan nilai-nilai keacehan yang islami, juga sulit mengharapkan output berkualitas dari kinerja penuh aroma ketakutan, trauma, dan intimidasi.
Kasihan. Mereka, para pegawai di sana, hanya bisa pasrah. Apa lagi ketika sedikit-dikit ada ancaman diperiksa dan bayang-bayang mutasi.

Karena itu, Pj gubernur Aceh yang baru, nantinya, harus fokus membenahi instansi ini karena kinerja mereka bermuara langsung pada penyiapan sumber daya manusia (SDM) Aceh.

Kepemimpinan Disdik harus dipercayakan kepada orang yang tepat, bukan kepada oportunis yang gila jabatan yang apa-apa hanya melihat cuan. 

Kepemimpinan birokrasi yang ugalan-ugalan dan mirip birokrat jalanan harus segera diakhiri. Saatnya menggunakan hati nurani, kembalikan Aceh pada nilai-nilai syar’i. Jauhkan dari isu mistis dan sihir yang sempat menjadi bisik-bisik di lingkaran birokrasi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *