Opini  

Drama yang Memporak-porandakan APBA

Avatar photo
Aksi pimpinan DPRA yang meminta Presiden Jokowi mencopot Achmad Marzuki dari jabatan Pj Gubernur Aceh (foto: repro)

SAYUP-SAYUP, akar konflik pembahasan APBA 2024 mulai mencuat ke luar. Pemicunya tidak jauh-jauh dari soal perut. Konon, menyangkut jatah anggaran pokir (pokok pikiran).

Jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya, akar masalah dari semua ini tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan permasalahan semakin berkurangnya alokasi dana otsus Aceh. Di saat sumber dana ini semakin mengecil, pada saat yang sama pula kebutuhan justeru semakin meningkat. Salah satu pemicunya adalah Aceh harus menyediakan dukungan dana untuk PON 2024.

“Gangguan” yang cukup signifikan lainnya terhadap “tumpok” pokir adalah premi JKA yang tertunggak pada BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 600 miliar, dana pemilu, beasiswa anak yatim, dan gaji guru honorer. Semua menguras cadangan APBA yang dari tahun ke tahun keadaannya memang semakin menipis.

Itu kondisi faktual yang terjadi hari ini. Di sisi lain, “krisis” itu tidak bisa dimengerti oleh momentum tahun politik di saat mana siapa saja yang akan turun ke gelanggang butuh “peluru” untuk bertempur yang tidak sedikit jumlahnya. 

Selama ini lancar-lancar saja. Sebab, APBA atau otsus tidak diganggu oleh PON atau yang lain-lainnya. Makanya, dulu defisit JKA bisa diselesaikan dengan menunggu “muntahan” SiLPA. 

Sekarang? Masalahnya tidak sederhana, bahkan semakin rumit. Karena, PON dan berbagai dukungan kebutuhan lainnya tidak bisa menjamin bisa memenuhi libido elit untuk memuaskan nafsunya menguasasi APBA melalui drama pokir.

Apakah pokir itu dosa? Tentu saja tidak. Perilaku culasnya yang kurang ajar.
Pokir itu legal dan konstitusional. Tapi, akal-akalan elit politik oknum-oknum di DPRA yang telah menyebabkan APBA cukup tak cukup untuk memenuhi hasrat penguasaan anggaran oleh mereka.

Semua anggota Dewan sampai ke level pimpinan tidak malu-malu menjarah APBA dengan skema pembenaran pokir. Main jatah-jatahan.

Di situ masalahnya. Apakah mereka tidak menyadari kekeliruan ini? Pasti mereka sadar. Tapi, kebutuhan anggaran yang besar untuk biaya politik mendorong mereka untuk membuang rasa malu dan harga diri. Mereka akhirnya memandang biasa saja praktek banjakan uang rakyat.

Padahal manipulasi yang dilakukan lewat berbagai kegiatan, seperti bimtek dan biaya publikasi media, sama sekali tidak menyentuh aspek peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Coba bayangkan, biaya publikasi media yang ditempatkan di berbagai SKPA, misalnya, bisa mencapai 75% dari pos pokir oknum anggota Dewan. Dimana logikanya?

Jika ingin bekerja dengan benar, sungguh-sungguh untuk kesejehtaraan rakyat, tinggalkanlah permainan jatah-jatahan pokir. Yang harus diperjuangkan adalah aspirasi publik, bukan persentase anggaran untuk jatah pokir.

Sudah cukuplah berbuat culas. Malu pada generasi dan anak cucu. Apakah tidak merasa hina bila nanti mewariskan kemiskinan terus-menerus akibat salah urus dan keserakahan minta jatah pokir? Berhentilah bermain drama!

  • Penulis adalah pengamat kebijakan publik dan akademisi, berdomisili di Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *