MEDIA ramai memberitakan. Kepala Satpol PP dan WH Kota Lhokseumawe, Aceh, Zulkifli, mengundurkan diri. Alasannya terdengar nyeleneh. Ia ingin kembali ke instansi asal, Kementerian Agama kabupaten.
Pejabat eselon II ini ingin kembali mengabdi sebagai guru di madrasah. Sesederhana itu kedengarannya.
Tapi, apakah benar demikian? Hanya dia dan sang Pencipta yang tahu.
Hanya saja, di tengah iklim birokrasi yang prakteknya banyak melenceng dari teori, fenomena pengunduran diri dengan alasan tadi memang terasa ganjil. Belum lagi ketika publik membandingkan dengan sebuah fakta, ada pejabat di instansi lain justeru mati-matian mempertahankan jabatan.
“Ingin kembali menjadi guru” menjadi topik yang pantas jadi pembahasan.
Apakah sebelum melamar jadi pejabat eselon II, sang guru ini tidak mempertimbangkannya dengan matang? Kenapa sekarang seperti menyesal, lalu dengan entengnya mengatakan ingin berhenti dan kembali lagi menjadi guru?
Tanpa disadari, alasan itu dengan sendirinya akan membuka tabir, betapa buruknya pola rekruitmen calon pejabat untuk mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) selama ini. Bagaimana bisa seorang guru yang belum memiliki pengalaman memimpin birokrasi sekonyong-konyong lulus seleksi JPT dan diangkat menjadi pejabat eselon II?
Ketika mantan guru ini menggunakan alasan ingin kembali ke instansi asal, kembali ke sekolah, terasa begitu tidak berarti apa-apa sebuah jabatan eselon II. Tidak punya nilai sama sekali panitia seleksi (pansel) JPT yang telah melakukan proses seleksi dengan begitu susah payah.
Di sisi lain, kebijakan mengambil guru madrasah menjadi kepala Satpol PP juga menimbulkan pelecehan terhadap sistem dan institusi daerah. Betapa tidak. Sistem karier yang sudah dibangun dengan susah payah tidak berarti sama sekali dan dengan mudah “dimentahkan” oleh seorang oknum guru. Kebijakan lompat pagar itu jelas-jelas tidak mengindahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Pada Pasal 1 Undang-undang ASN tentang sistem merit menyebutkan, bahwa kebijakan dan manajemen ASN dilaksanakan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi.
Kebijakan merekrut pejabat dari luar instansi sendiri adalah bentuk diskriminasi yang nyata. Kebiasaan demikian selain melecehkan aturan, juga menciptakan persaingan yang tidak sehat. Pada akhirnya, tidak terbangun semangat kolaboratif dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi.
Peristiwa pengunduran diri pejabat Lhokseumawe juga mengungkap tabir, bahwa ada yang tidak beres pada proses seleksi JPT oleh pansel. Jangan-jangan pansel hanya sebatas tukang stempel untuk menggolkan calon pejabat pesanan panguasa.
Fenomena serupa bukan tidak mungkin terjadi di daerah lain, termasuk di tubuh Pemerintah Aceh. Karena itu, jika Pj Gubernur Achmad Marzuki dan Sekda Bustami punya niat baik dan hati nurani untuk memperbaiki Aceh, sudah pada tempatnya untuk tidak mengulang kesalahan yang pernah dibuat oleh orang lain.
Mulai sekarang berpikirlah untuk melakukan pembinaan karier ASN. Cukup sudah praktek buruk memberi fasilitas jabatan untuk “anak orang” sementara anak sendiri yang sudah berbakti begitu lama diabaikan. Kalau pejabat luar yang diadopsi itu memiliki kualitas super, entahlah. Tapi, faktanya, mereka juga mempunyai kemampuan di bawah rata-rata.
Di tubuh Pemerintah Aceh sekarang terdapat sejumlah pejabat eselon II yang berasal dari kampus. Secara aturan, mereka sejak tahun 2020 silam sudah harus memilih. Pindah menjadi ASN daerah atau kembali ke kampus.
Jika ditelisik lebih dalam, para pejabat dari kampus itu juga tidak mempunyai prestasi yang membanggakan. Tidak punya kreasi apa-apa. Kehadiran mereka tidak lebih dari sekedar menambah jumlah saja, tapi nihil prestasi.
Mungkin pengalaman 2 dasawarsa lalu patut dijadikan pegangan. Pada era Gubernur Ibrahim Hasan, hanya jabatan tertentu yang diberikan untuk orang kampus. Yaitu, hanya kepala Bappeda. Selebihnya tidak!
Masih juga mau berperilaku seperti keledai? Wallahu ‘alam.[]