ADA pelajaran berharga di balik pelaksanaan Bimtek oleh sebuah instansi di lingkungan Pemerintah Aceh. Bukan semata soal dugaan penyimpangan. Itu biarlah menjadi pembahasan pihak lain yang lebih berwenang.
Yang akan menjadi perbincangan kita kali ini lebih substantif lagi. Ini terkait dengan kelembagaan Dinas/Badan atau SKPA.
Selama beberapa tahun terakhir, instansi-instansi yang harusnya berguna, tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pejabat yang duduk di jabatan empuk kepala dinas dan sebagainya, tidak lebih dari seonggok daging. Mereka tidak bekerja untuk rakyat.
Kalau pun ada setumpuk kalimat visi misi atau program kerja, itu semua hanya sebatas jargon. Tidak ada aplikasi sebenar-benarnya. Manfaatnya tidak dirasakan oleh rakyat.
Sebagai sampel, mari kita lihat Bimtek Pengolahan Makanan bagi Usahawan Pemula yang ditulis dalam DPA Dinas Koperasi UKM Aceh. Judul kegiatannya bukan main mentereng. Sangat indah. Ini hanya sekedar sampel saja.
Dan, sebenarnya, kegiatan seperti itu betul-betul sangat dibutuhkan masyarakat. Mereka yang butuh pemberdayaan. Bukan sekelompok orang seperti supporter bola.
Tapi, apa nyana? Kegiatan yang menyedot anggaran ratusan juta itu, mungkin, hanya sebatas seremonial. Berlalu, menjadi rutinitas belaka. Semua dokumen lengkap, peserta dan narasumber pun juga ada. Tapi, outcome dan benefit dari kegiatan itu yang masih menjadi tanda tanya.
Menurut berita, Bimtek itu dilaksanakan oleh pihak ketiga, EO (event organizer). Bukan oleh Dinas si pemilik tugas pokok dan fungsi. Mulai dari mencari peserta, menghadirkan narasumber, semua dihandel oleh mereka. Dinas hanya tinggal tanda tangan saja.
Koq bisa begitu?
Dalam skup luas, ini menyangkut persoalan birokrasi Aceh yang memang sedang amburadul. Maaf, tidak ada maksud antipati. Inilah warisan yang ditinggalkan oleh pemimpin Pemerintahan Aceh sebelumnya, Nova Iriansyah, figur yang terlanjur diberi julukan Gubernur Terburuk oleh DPRA.
Para kepala SKPA yang ada sekarang, semuanya pilihan Nova. Dan, mereka yang “diberi” jabatan itu, bukan karena latar belakang keberhasilan memimpin, tapi lebih pada pendekatan pragmatis. Jadi, tidak aneh, jika kemudian ada yang tidak paham tupoksi.
Memang ada proses seleksi, tapi seperti kata seorang pengamat, itu hanya sebatas prosedural belaka. Padahal, sesungguhnya, fit and proper tes, itu hanya alat legitimasi untuk menggoalkan calon yang memang sudah disiapkan. Dinas Koperasi UKM, salah satu contohnya.
Dalam skup lebih kecil, kasus Bimtek pada Dinas Koperasi UKM, terjadi akibat orang yang ditugaskan di sana tidak punya kompetensi dalam bekerja. Tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan demi menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat.
Karena ketidakpahaman itu, maka, tanpa malu dan perasaan bersalah ia menyerahkan tugas dan tanggung jawab — yang seharusnya dilakukan sendiri — kepada masyarakat, pihak ketiga, yang notabene tidak mengerti tugas dan fungsi SKPA.
Timbul pertanyaan. Jika SKPA menyerahkan bulat-bulat kegiatannya untuk dilaksanakan oleh pihak ketiga, lalu, untuk apa juga mereka ada di sana? Untuk apa kantor dengan fasilitas lengkap, tunjangan jabatan, dan mobil dinas? Kalau memang EO lebih hebat, untuk apa lagi Dinas, kenapa tidak bubarkan saja?
Coba bayangkan, begitu banyak masyarakat yang butuh uluran tangan pemerintah, tapi tak tersentuh akibat pelaksanaan program — seperti Bimtek — salah sasaran. Hanya sekedar mengejar target realiasasi anggaran.
Padahal, jika kegiatan yang sifatnya benar-benar pemberdayaan ekonomi masyarakat dilakukan dengan benar, untuk sasaran yang tepat, mungkin, secara perlahan akan memberi efek positif terhadap penurunan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran. Karena, melalui kegiatan seperti Bimtek itu, pengetahuan dan wawasan berusaha masyarakat akan bertambah.
Bimtek Dinas Koperasi UKM hanya kebetulan saja menjadi contoh. “”Bimtek”” lainnya dengan pola dan varian berbeda pasti terjadi pada berbagai SKPA lainnya. Sayang sekali, anggaran APBA yang harusnya berguna meningkatkan derajat hidup masyarakat menguap begitu saja di tangan orang-orang yang tidak punya kapasitas.
Padahal, jika dikelola dengan benar, output dan oucome berbagai kegiatan — lebih-lebih SKPA yang berkaitan dengan pengentasan kemisikinan — secara simultan memberi pengaruh terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. Pada gilirannya, secara alamiah tentu akan mengoreksi angka kemiskinan.
Kini menjadi pertanyaan bagi publik. Apakah pelaksanaan Bimtek sia-sia seperti contoh kasus pada Dinas Koperasi UKM Aceh tidak menjadi catatan berharga bagi Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki? Apakah dia akan tetap dan terus mempertahankan para kepala SKPA warisan Nova yang jelas-jelas minus prestasi?
Jika Pj gubernur masih diam, masyarakat pantas bertanya: sebenarnya apa tujuan Achmad Marzuki kemari?[]