Isu Jual Beli Jabatan Kepsek, tak Mungkin Ada Asap Kalau tak Ada Api !

Ilustrasi (foto: BeritaRiau)

BARU saja hangat perdebatan soal mutu pendidikan Aceh. Pernyataan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Samsul Rizal yang menyebut mutu pendidikan Aceh, saat ini, tidak dalam kondisi baik-baik saja telah memantik pro kontra. Muncul dua kubu dengan argumentasi masing-masing. 
 
Dengan pendekatan dan narasi berbeda, kedua kubu membuat klaim, bahwa merekalah yang paling benar. Bahkan, kabarnya, salah satu kubu sampai membangun “kekompakan” untuk menyerang yang lainnya dalam berbagai narasi yang terkesan “menghujat”.

OK-lah. Mari tinggalkan sejenak perdebatan itu. Kita sepakati saja bahwa mutu pendidikan Aceh harus baik, bagaimana pun caranya.

Toh masyarakat sebagai pihak yang harus menerima hasil pendidikan hingga sejauh ini belum bisa berbuat apa-apa atas klaim “berprestasi” yang dibuat secara sepihak oleh pemilik otoritas. Masyarakat hanya bisa nrimo saja.

Mereka tidak punya kuasa untuk bisa masuk ke dalam “belantara” birokrasi yang teramat dalam dan juga tidak mudah. Ada batasan kokoh bagi publik untuk bisa mengakses. Dengan segala macam justifikasi, tentunya.

Makanya, ketika disebut berkualitas, ya terima saja. Tidak ada parameter yang fair yang bisa disepakati bersama. Misalnya, kalau masyarakat ingin mengetahui berapa persen daya serap kurikulum sampai sejauh ini? Tidak ada alat yang bersifat netral yang mudah dipahami dan bisa diterima akal sehat.

Pemilik otoritas selalu punya acara untuk tetap pada posisinya yang resistan. Bisa dengan mengatasnamakan kebijakan atau dengan dalih setumpuk pembenaran. Misalnya, menyodorkan instrumen buku rapor atau kalau dulu ujian nasional (UN) sebagai alat ukur. Yang pasti benteng kokoh atas nama pembenaran akan sulit ditembus sampai kapan pun ketika belum ada parameter netral.

Jangan lupa, rapor juga berada dalam sebuah ruang otoritas sepihak. Publik memang harus menaruh kepercayaan kepada produk tersebut. Kita harus percaya kepada guru (sekolah).

Tetapi, bukankah sudah menjadi rahasia umum selama ini, rapor juga menjadi produk yang tidak bebas manipulasi. Karena kepentingan tertentu, baik internal maupun atas desakan pihak luar, ada istilah “cuci rapor”. Nah, kalau sudah demikian, apakah rapor masih bisa dijadikan alat ukur?

Itulah mengapa diperlukan sebuah parameter yang fair untuk menjawab sebuah produk yang ditujukan untuk kepentingan publik (baca: hasil pendidikan). Beranalogi kepada mekanisme kerja industri, harus ada quality kontrol, untuk menjamin bahwa sebuah produk memang bermutu. Dan, itu harus dibuat secara fair dengan instrumen dan variabel yang bisa diterima oleh akal sehat secara umum. Dengan demikian akan terhindar dari klaim sepihak.

Untuk menuju ke arah itu tentuk tidak mudah. Selain jiwa rela berkorban, dibutuhkan dukungan sumber daya yang mumpuni, yang profesional, bukan abal-abal. Salah satu indikator profesional — yang diakui secara umum — adalah “sertifikat” keahlian. Nah, penjelasan ini cukup sampai di sini. Sebab, kalau diteruskan akan menohok pihak tertentu dan itu langsung berkait dengan perilaku politik yang sedang merambah kehidupan birokrasi.

Kita ingin masuk sedikit saja ke ranah ini, ranah sumber daya, yaitu terkait persoalan rekruitmen kepala sekolah. Sedang ramai sekarang isu pungli yang diduga melibatkan seorang kepala cabang dinas (Kacabdis) di lingkungan Dinas Pendidikan Aceh.

Isu itu berkelindan dengan keras dalam sepekan terakhir, terutama di tengah-tengah publik Aceh Tenggara. Sebuah LSM di sana mendapat laporan bahwa diduga ada permainan uang dalam rencana mutasi kepsek jenjang SMA dan SMK.

Katanya, seorang calon yang ingin dipromosi (setelah cukup syarat administrasinya tentunya) harus menyetor Rp 20 juta. Sedangkan kepsek lama, agar bisa bertahan, juga harus setor. Tapi, cukup Rp 15 juta.

Tudingan itu telah dibantah dengan tegas oleh Kacabdin Agara, Sarpin, kepada berbagai media siber. “Berita itu tidak benar. Saya sebagai Kacabdin tidak ada melakukan seperti apa yang diberitakan. Mohon maaf. Itu jawaban dari saya,” bantah Sarpin, Jumat (9/7/2021) pagi.

Setelah itu, Sarpin membuat statemen yang rada tegas dan terkesan melampaui kewenangan. Bahwa, ia akan terus mengevaluasi dan memonitor kinerja kepsek. “Saya sebagai Kacabdin tidak akan segan-segan untuk mengganti atau pun mencopot kepsek2 yang kinerjanya tidak baik,” tulis Sarpin melalui chat WA.

Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Alhudri, pun tidak kalah seru. Dia mengaku terkejut mendengar informasi dugaan pungli oleh anak buahnya tersebut. Ia pun berkata, segera memanggil Kacabdis Agara untuk memeriksa kebenaran informasi dugaan pungli.

Menjadi pertanyaan sekarang, memecat atau bahasa lembutnya mengganti kepsek itu kewenangan siapa? Rasanya sulit diterima oleh logika awam, seorang Kacabdis yang baru beberapa bulan menjabat, berani bertindak segagah perkasa itu?

Apakah seorang pejabat eselon III atau setingkat Kacabdis punya kewenangan mengangkat dan memberhentikan kepsek? Kita jadi bertanya, dari mana datang pejabat ini sebelumnya? Terlihat betul tidak menguasai tupoksi. Kenapa figur seperti ini diberi kepercayaan memimpin lembaga cabang dinas? “Bisa rusak negeri ini,” meminjam istilah Pak JK.

Kemudian, terkait isu pungli. Sebagai anak buah, seorang Kacabdis pasti harus melakukan sebuah kebijakan atas sepengetahuan pimpinannya dalam hal ini kepala dinas. Apakah berani seorang Kacab melangkah sebegitu jauh tanpa sepengetahuan atasan? Rasanya sulit dipahami.

Publik juga sulit mengetahui bagaimana hasil pemeriksaan atas dugaan pungli itu nanti. Apakah cuma sekedar pelanggaran etik atau ada unsur pidana di dalamnya? Lagi-lagi, publik tidak bisa masuk ke sana. Itu wilayah birokrasi yang memiliki batas kokoh dengan masyarakat. Meski perilaku birokrasi itu outputnya menyentuh langsung kepentingan publik, yaitu hasil pendidkan.

Publik tetap berada di luar garis. Pokoknya terima saja apa pun hasilnya. Kalau disebut merah ya merah. Berkualitas atau tidak, ya terima saja.

Terkait dengan isu pungli, ada sebuah pepatah lama yang mungkin relevan dengan konteks kekinian. “Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api.” Wallahu ‘aklam bisshawab”.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *