Pemilu yang Bikin Pilu

Ilustrasi kecurangan pemilu (foto: Kompasiana)

Muridah, dan banyak lagi yang lain telah menjadi korban selama berjalannya tahapan Pemilu 2019. Muridah adalah ibu muda, anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) dari Desa Peulokan Kecamatan Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan.

Wanita itu menghembuskan nafas terakhir, Sabtu (27/4/2019), dalam kondisi hamil tua. Ketua KIP di sana, Saiful Bismi, menyebut, Muridah mengalami kelelahan akibat desakan pekerjaan yang berat.

Muridah adalah satu diantara ratusan petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang telah menjadi korban. Menurut KPU, jumlah korban dari kalangan petugas penyelenggara Pemilu telah mencapai 2.150 orang. Yang meninggal 272 orang dan 1.878 lainnya jatuh sakit.

Data itu sekaligus menjelaskan, inilah Pemilu dengan korban paling banyak (mungkin) di dunia, belum pernah terjadi di negara lain.

Karena itu, tidak berlebihan jika disebut, inilah Pemilu yang menyisakan rasa pilu mendalam. Pesta demokrasi yang merenggut banyak korban jiwa.

Tidak hanya sampai di situ. Diprediksi, hasil pemilu 2019 juga menyimpan potensi implikasi buruk ke depan seiring maraknya dugaan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaannya.

Pada pelaksanaan Pileg di Aceh, dugaan praktik money politic (politik uang) sudah telanjang di depan mata dan menjadi rahasia umum.

Demikian pula dugaan kecurangan Pilpres. Masyarakat menyuarakan kecurangan itu dimana-mana. Media sosial menjadi wadah paling efektif menyuarakan itu. Salah satu isu paling menyita perhatian publik adalah dugaan ditemukannya surat suara sudah tercoblos atas nama salah satu Paslon Capres/cawapres. Rekaman video-nya pun beredar luas di masyarakat.

Banyak sekali dugaan kecurangan dan pelanggaran hukum pada Pemilu kali ini. Untuk konteks lokal, diprediksi, hasil Pileg akan menyisakan segudang potensi masalah ke depan. Ada dugaan, parlemen periode kali ini diisi oleh oknum-oknum yang menang dengan cara curang. Mereka mendapatkan kursi dengan cara membayar melalui politik uang.

Di Bireuen, sempat beredar kabar bahwa ada money politic sistem paket yang dilakukan oleh oknum caleg tertentu. Dugaan praktik money politic ini benar-benar berlangsung massif.

Miris. Setelah perhitungan suara, banyak caleg yang memainkan politik uang tidak terpilih karena nominal uang yang diberikan kalah saing dengan caleg lain. Ada pula info terbaru yang beredar di masyarakat, oknum caleg tertentu meminta kembali uang yang telah diberikan karena terbukti dia tidak mendapatkan suara.

Caleg-caleg yang terpilih karena politik uang, ketika duduk nanti, yang pertama dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk membeli suara dari para pemilih.

Misi oknum-oknum seperti ini adalah bisnis. Tidak ada idealisme untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Dia akan fokus pada misi pribadi, mengembalikan modal sekaligus mendapatkan keuntungan selama menduduki jabatan sebagai anggota legislatif.

Di tengah pesimisme seperti ini, apa yang bisa dilakukan? Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan. Komponen mahasiswa harus mengasah kepekaan, agar kehadiran oknum-oknum anggota legislatif jahat tidak leluasa memainkan perannya di lembaga terhormat dewan perwakilan.

Jangan biarkan lembaga terhormat dikotori oleh misi pribadi caleg-caleg ambisius yang haus materi dan kekuasaan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *