News  

Sektor Pengadaan Barang dan Jasa Paling Rawan Korupsi di Aceh

Laode M Syarif

KabarAktual.id – Sektor pengadaan barang dan jasa menjadi titik rawan korupsi pada Pemerintah Aceh. Berdasarkan indeks persepsi yang dirilis LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, 70 persen korupsi terjadi di sektor dengan anggaran yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (DOKA). 
 
Menyikap situasi ini, KPK bertekad meningkatkan pengawasan di Aceh. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif ketika berbicara pada seminar di Banda Aceh, Jumat (16/11/2018) mengatakan, pihaknya sudah melakukan penindakan di Aceh. “Maka sekarang sedang melakukan pencegahan salah satunya memperbaiki pengelolaan di sektor pengadaan barang jarang jasa, sistem perizinan, serta promosi mutasi jabatan, yang dianggap paling rawan terjadi indikasi korupsi,” ujarnya.

Sebagai bagian dari upaya pencegahan itu, pihaknya terus meningkatkan komunikasi dengan LSM Gerak Aceh. Dikatakan, KPK telah menerima sejumlah dokumen hasil temuan GeRAK Aceh. Salah satunya dugaan korupsi pada pembangunan pasar modern di Kabupaten Aceh Barat Daya.

Syarif mengatakan, kasus yang dilaporkan tersebut saat ini sedang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. “Setelah kembali ke Jakarta saya akan meminta tim koordinasi dan supervisi penindakan KPK untuk menanyakan kepada teman-teman kejaksaan yang ada di Aceh, sejauh mana sudah kasus itu ditangani,” ucapnya.

Pada bagian lain, Koordinator GeRAK Aceh, Askalani, menjelaskan bahwa indeks persepsi yang dibuat GeRAK ditemukan bukti bahwa 70 persen korupsi yang ada di Aceh bersumber dari sektor pengadaan barang dan jasa. Aliran dana paling besar dari DOKA dan Dana Infrastruktur Daerah (DID) yang bersumber dari APBN.

“Dua hal ini menjadi bukti bahwa proses penangkapan atau OTT yang dilakukan KPK itu terbukti. Sektor pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu sumber dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus pengelolaan keuangan daerah di Aceh khususnya pada dana Otonomi Khusus (Otsus),” ujarnya.

Kemudian terkait dengan indikasi korupsi yang terjadi di pasar modern Aceh Barat Daya, Askalani mengatakan, berdasarkan temuan fakta di lapangan proyek pembangunan pasar tersebut sarat dengan temuan-temuan yang berpotensi menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi salah satunya dari kualitas bangunan.
“”Berdasarkan hasil uji lab ditemukan fakta bahwa bangunan tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi. Selain itu, berdasarkan keterangan Kajati Aceh ditemukan unsur pelanggaran. Ada empat sampai lima aliran dana yang dibuktikan dari hasil tim PPATK, bahwa ada aliran dana dari uang hasil proses yang diduga suap-menyuap atas pelaksanaan tender dalam proyek pengadaan pasar modern tersebut,”” ucapnya.

Pada sesi terpisah, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah tak menampik bahwa korupsi yang terjadi di Aceh paling massif terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Ia berjanji akan mendorong proses pengadaan untuk dilakukan secara elektronik untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan.

Kenapa banyak terjadi penyimpangan di sektor ini, kata dia, karena ada hubungan personal di dalamnya. Oleh karena itu untuk mencegah adanya pelanggaran korupsi terjadi, pemerintah telah membuat e-katalog. “Secara sederhana, kita mikirnya kalau dengan mesin bisa terminimalisir. Bagaimana paket-paket pelelangan itu dibuat e-katalog,” ucap Nova.

Dia mencontohkan, pembelian mobil dan alat elektronik lainnya sudah menggunakan e-katalog, sehingga tidak ada lagi indikasi korupsi. Karena urusannya sudah berhubungan dengan mesin, dalam hal ini komputer.

Ia mengatakan, cara ini akan diperluas ke paket-paket lain.” Memang agak sulit ketika ini masuk ke bangunan tetapi setelah kita konsultasi ke EKPP di Jakarta, ternyata bangunan itu bisa distandarkan terutama rumah layak huni. Kita juga mencari paket-paket lain yang bisa e-katalog untuk menghindari rawan korupsi lebih banyak,” ujar Nova.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *