News  

Nyo Lhokseumawe, Teungku!

Razia terhadap penumpang motor yang duduk ngangkang (foto: Ist).

SUMATERA Utara, khususnya Medan, dikenal memiliki sejumlah hal sebagai penanda identitas. Selain identik dengan suku Batak, daerah itu terkenal pula dengan jargon: Ini Medan, Bung!

Ungkapan itu sebenarnya bisa memunculkan beragam penafsiran. Kalau dulu, sebelum dilakukan pembersihan terhadap premanisme, konotasinya bisa bermakna negatif.

“Ini Medan, Bung” bisa diartikan sebagai peringatan, agar setiap orang berhati-hati dan waspada, di mana-mana banyak copet. Mungkin seperti itu pesan yang tersirat dari ungkapan “Ini Medan, Bung”.

Tapi, itu dulu. Medan sekarang sudah relatif aman. Jumlah preman juga mungkin sudah berkurang.

Meskipun Medan sekarang sudah relatif aman, ungkapan itu masih enak saja diucapkan. Di banyak tempat, pada berbagai acara, “ini Medan bung” sering bergema. Frasa itu sekarang digunakan untuk menghadirkan identitas. Tidak ada kesan negatif di dalamnya.

Ada pepatah lama yang berbunyi, bahasa menunjukkan bangsa. Tapi, tidak selamanya begitu. Sebuah daerah (entitas) bisa juga dikenal karena makanannya, seperti rendang yang paling enak ada warung Padang atau soto betawi, pasti identik dengan suku tersebut.

Ternyata, identitas tidak selamanya dikenali dari tutur kata. Tapi, juga perilaku. Tentang perilaku ini, menarik diamati fenomena yang terjadi di sejumlah wilayah Aceh. Yang teranyar, adalah tentang ketentuan larangan duduk ngangkang bagi wanita penumpang sepeda motor.

Larangan duduk ngangkang khusus untuk wanita ini dikeluarkan oleh Wali Kota Suaidi Yahya pada sekitar 2013. Sejak saat itu, gencar dilakukan razia terhadap penumpang motor yang duduk ngangkang di wilayah itu.

Selasa (13/11/2018) seperti diberitakan media, polisi syariat atau di sana popular dengan WH (Wilayatul Hisbah) menggelar razia lagi terhadap pengguna jalan. Sasarannya adalah mereka yang tidak menutup aurat, tidak berpakaian sesuai aturan Islam.

Bagi laki-laki, dilarang menggunakan celana pendek, yang perempuan tentu saja harus menutup kepala dengan jilbab (hijab), dan tidak dibenarkan duduk ngangkang saat berboncengan di atas sepeda motor.
Kebijakan itu sempat menuai pro-kontra.

Untuk beberapa lama isu tentang larangan duduk ngangkang sempat sepi pemberitaan media. Baru Selasa (13/11/2018) mencuat lagi. Entah apa pemicunya, wallahu ‘alam.

Entah kebetulan, atau memang razia itu sudah menjadi agenda rutin yang dilaksanakan secara konsisten oleh Pemko Lhokseumawe. Tapi, yang jelas, Lhokseumawe belum lama ini dikunjungi oleh da’i kondang Ustadz Abdul Somad (UAS). Dalam tausiahnya UAS menyatakan salut atas penerapan larangan duduk ngangkang terhadap wanita.

Begini kutipannya.

Saya sebenarnya salut dengan warga Aceh ini. Selain memang pulau tempat para aulia, tempat lahirnya para ulama, pejabatnya juga berani dan tegas, ini yang harusnya dicontoh daerah lain.
Apalagi Lhokseumawe juga pernah bikin geger negeri Ini. Satu-satunya perda yang bikin Indonesia heboh ada di mana?

Perda ini bikin heboh. Kenapa bikin heboh? Karena satu-satunya kota di Indonesia yang berani mengeluarkan perda wanita dilarang duduk ngangkang. Oooo semua ribut, perda macam apa ini? Woy… ingatlah kalian semua, ini perda yang seharusnya kita dukung, jangankan maksiat atau perzinahan, duduk ngangkang saja tak boleh, artinya apa? Pemkot Lhokseumawe peduli akan umat, peduli menjaga umat.

Sekarang ini aneh saya lihat, ada perda dilarang duduk ngangkang, pada ribut, pada heboh mencaci maki, tapi ketika lihat artis dengan busana sexy, kadang juga yang lupa dijahit, malah bungkam. Anehnya kadang malah dibiarkan dan dijadikan tontonan wajib, ini kan keblinger.

Umat islam apalagi ulama, yang saat ini dipercaya menjadi pemimpin, jangan takut dengan ancaman dan cemoohan orang yang tidak suka dengan aturan sesuai syariat Islam. Lanjutkan, jangan takut. Kita harus bentengi generasi muda kita dari perbuatan-perbuatan maksiat. Jika diperkuat dengan aturan pemerintah, Insya Allah, negara kita akan merdeka seutuhnya, dan akan menjadi negara yang barokah.

***

Mungkin tidak ada kaitan dengan ceramah Ustadz Abdul Somad. Selasa (13/11/2018), Satpol PP dan WH Lhokseumawe melancarkan lagi razia terhadap penumpang motor yang duduk ngangkang. Dalam razia di tengah Kota Lhokseumawe, mereka menjaring 17 wanita.

Penertiban terhadap wanita duduk ngangkang itu dasarnya adalah imbauan bersama yang ditandatangani unsur Muspida plus Lhokseumawe, dikeluarkan pada 8 Januari 2013.

Meski hanya imbauan, tapi Satpol PP dan WH Kota Lhokseumawe komit melaksanakannya. Setiap menggelar razia busana di jalan, Satpol PP tetap menghentikan pemotor yang membonceng wanita duduk ngangkang. “Kami hanya meminta agar mereka mengubah cara duduknya. Harus menyamping, jangan ngangkang,” ujar Kepala Satpol PP dan WH Lhokseumawe, Irsyadi, suatu ketika.

Tapi, tidak penting soal razia Satpol atau tentang dasar hukumnya. Yang pasti, seperti kata UAS, Lhokseumawe sudah populer dengan larangan duduk ngangkang.

Seperti Sumatera Utara dengan jargon “Ini Medan, Bung,” barangkali Lhokseumawe juga berhasil menampilkan kesan yang lebih kurang sama: Nyo Lhokseumawe, Teungku! (Ini Lhokseumawe, Teungku).[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *