MIRIS, sekaligus prihatin. Mungkin kata-kata itu yang akan terlintas di pikiran banyak orang bila menyaksikan perilaku laki-laki ini. Kelihatan sehat dan bertubuh kekar, tapi kerjaannya mengemis. Tidak itu saja, dia beraksi sebagai tuna netra untuk memancing belas kasihan dermawan.
Tapi akal bulus Drajat (27), pengemis yang berpura-pura buta, itu tidak berjalan mulus di Bireuen. Dinas Sosial bersama Satpol PP setempat menangkap basah aksinya dalam sebuah operasi penertiban, Kamis (1/11/2018) sore.
Dalam operasi terungkap, rupanya aksi Drajat tidak tunggal. Mereka satu komplotan. Warga Gampong Blang, Kota Langsa, dengan tato di sekujur tubuh, itu datang ke Bireuen bersama istrinya, Nadira, dan dua orang anak.
Tidak hanya Drajat. Petugas wanita yang memeriksa Nadira, juga menemukan fakta, bahwa istri pengemis “buta” itu juga bertato.
Selain Drajat dan keluarga, petugas Dinsos Bireuen juga menangkap pasangan suami istri Wahendro (30) dan Indah Muliana. Di identitas mereka tercatat sebagai warga Kebun Lada, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Tubuh kedua pasangan pengemis ini juga dihiasi tato.
Dua orang pengemis lainnya yang terjaring adalah Nurdin (32), warga Blang Jruen, Aceh Utara, dan Saiful Bahri (46), warga Meunasah Asan, Aceh Utara.
Ketika melakukan pendataan, petugas merasa curiga melihat gerak-gerik Drajat. “Kami menginterogasi lebih dalam. Akhirnya, dia mengaku sendiri matanya tidak buta dan langsung membuka kedua mata,” kata Halidar seperi dilansir media kabarbireuen.com.
Tidak berhenti di situ. Tim Haidar selanjutnya memerintahkan Drajat untuk membuka baju. Ketika itulah tim menyaksikan, sekujur tubuh lelaki ini penuh tato. “Telinganya bertindik,” ujar Haidar.
Tato dalam persepsi sebagian masyarakat Aceh berkonotasi negatif. Di sini masih ada asumsi kalau tato itu dekat dengan perilaku berandal dan kriminalitas. Mungkin itu sebabnya, sebagai institusi yang bertugas membasmi penyakit masyarakat, Dinas Sosia Bireuen, dalam melakukan pendataan menyelidikinya sampai kepada hal-hal yang lebih detil, seperti tato.
Menurut Halidar, semua pengemis yang ditangkap hari itu, berasal dari luar Kabupaten Bireuen. Fenomena membanjirnya pengemis luar sudah sering terjadi di sejumlah kota di Aceh. Fenomena ini diam-diam dicermati oleh Burhanuddin yang sehari-hari memimpin sebuah LSM di Banda Aceh.
Menurut dia, para pengemis yang datang dari luar sedikit banyak memiliki pemahaman tentang karakter masyarakat Aceh. Mereka tahu bahwa masyarakat Aceh tinggi kepedulian sosialnya. “Mereka memanfaatkan kondisi itu,” ujarnya.[]