Nasib Penegakan Hukum di Tangan Polisi Buruk

Gambar hanya ilustrasi dibuat menggunakan kecerdasan buatan atau AI

PERNYATAAN Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo tentang ribuan perwira polisi berkinerja buruk seharusnya mengguncang institusi Polri. Ia secara gamblang menyebut masalah rekrutmen serta pola pembinaan yang lemah sebagai biang kerok.

Pengakuan seterbuka ini memang bertepatan dengan proses reformasi kepolisian yang sedang digulirkan. Namun pertanyaan terbesarnya tetap sama, seberapa kuat keinginan Polri untuk berubah dari dalam?

Keraguan publik sangat beralasan. Selama ini Polri kerap menunjukkan resistensi terhadap kritik dan lebih sibuk melindungi korps ketimbang menertibkan anggota. Ego institusional itu yang membuat slogan-slogan besar — Presisi, humanis, mengayomi — hanya menjadi tulisan manis di dinding kantor, tetapi kosong dalam praktik.

Baca juga: Ribuan Kapolsek, 36 Kapolres, 15 Direskrim Berkinerja Buruk

Realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Perilaku arogan aparat dapat dijumpai di jalan raya, pos pelayanan, hingga ruang penyidikan. “Tot tot wuk wuk” bukan sekadar ungkapan sinis masyarakat, melainkan cermin keseharian interaksi polisi dengan warga: memaksa jalanan, menghardik, dan merasa lebih tinggi derajatnya dari publik yang mereka layani.

Lebih jauh, data dan kasus konkret menunjukkan betapa dalamnya masalah Polri. Komnas HAM mencatat kasus penyiksaan dalam peristiwa salah tangkap di Polsek Tambelang, Bekasi. Empat pemuda dipukul, ditendang, ditutup mata dengan lakban, dan diikat kabel untuk memaksa mereka mengaku sebagai pelaku pembegalan. Temuan CCTV dan kesaksian menunjukkan mereka bahkan tidak berada di lokasi kejadian. Manipulasi waktu dan keterangan diduga dilakukan untuk menutupi kekerasan itu.

KontraS, dalam periode Juli 2022–Juni 2023, mencatat 20 kasus salah tangkap, namun hanya empat yang diproses serius oleh Propam. Selebihnya menguap tanpa kejelasan. Beberapa korban bersaksi disergap, ditodong pistol, dan dipaksa menandatangani BAP yang tak mereka pahami.

Baca juga: Protes Diskriminasi terhadap Roy Suryo Cs, Refly Harun Walkout dari Audiensi dengan Tim Reformasi Polri

Selain itu, data gabungan Komnas HAM dan KontraS (2020–2024) menunjukkan 176 dari 282 laporan penyiksaan melibatkan anggota Polri, menjadikan institusi ini pihak yang paling banyak dilaporkan terkait kekerasan terhadap warga. Amnesty International juga mengungkap tren meningkatnya penembakan warga sebagai bentuk hukuman di luar proses hukum.

Tak lupa, kasus besar seperti pembunuhan Brigadir J maupun tragedi Kanjuruhan memperlihatkan kegagalan serius reformasi Polri. Penghalangan pengungkapan fakta, mentalitas komando yang menutup diri, hingga budaya impunitas terhadap pelanggaran, sudah menjadi keseharian selama ini.

Rekrutmen Rusak, Kinerja Rusak

Karena itu, ketika Wakapolri melokalisir persoalan hanya sampai Kapolsek, Kapolres, atau Direskrim, kritik pun muncul. Apakah masalah ini benar berhenti di level menengah? Kritik Rismon Sianipar, ahli digital forensik, menegaskan bahwa kerusakan mesti ditelusuri hingga ke struktur teratas.

Analogi “rumah bocor diperbaiki atapnya, bukan lantainya” sangat tepat. Jika rekrutmen longgar, pendidikan minim pembentukan moral, dan pembinaan penuh kompromi, maka keluaran yang muncul adalah perwira gagap etika, arogan, dan mudah menyalahgunakan kekuasaan.

Di tangan aparat seperti ini, penegakan hukum menjadi perjudian bagi warga. Salah tangkap, kriminalisasi, hingga penyiksaan bukan sekadar “kelalaian oknum”, melainkan gejala dari sistem yang salah didesain.

Jangan bicara reformasi kalau masih merasa diri paling penting. Perubahan mestinya dimulai dari hal paling sederhana. Misalnya, tidak lagi menutup jalan raya hanya karena Kapolda melintas. Tidak lagi menganggap publik sebagai pengganggu, tetapi sebagai pemilik hak atas layanan negara. Dari hal kecil, barulah reformasi berakar.

Namun pembenahan tidak boleh berhenti di level perilaku. Yang diperlukan adalah perbaikan besar-besaran dalam rekrutmen, penguatan pengawasan independen terhadap penyidikan, hukuman tegas dan transparan atas kekerasan serta salah tangkap, dan perubahan budaya komando yang selama ini memupuk impunitas.

Tanpa itu semua, setiap jargon reformasi hanyalah kosmetik. Dan, selama perubahan hanya dilakukan setengah hati, maka nasib penegakan hukum tetap akan berada di tangan aparat yang tidak siap menjalankan mandatnya.

Yang amat penting, jangan melihat masyarakat sebagai sumber pemasukan, bahkan mangsa. Contohnya perilaku oknum-oknum-oknum polantas di jalan raya.

Juga sudah harus berpikir untuk meninggalkan budaya korup, mulai dari yang kecil-kecil. Misalnya, selama ini, kenapa meminta uang pada anak-anak bangsa yang menganggur dan butuh surat SKCK. Di mana logikanya? Mereka masih mencari kerja, tapi kok diminta membayar? Bukankah semua ATK di kantor polisi dan petugas sudah dibayar negara?

Jika Polri benar-benar ingin berubah, mulailah dari keberanian untuk jujur. Bukan sekadar kepada publik, tetapi yang lebih penting kepada dirinya sendiri.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *