Target BLUD SMK; Saat Ambisi Mengalahkan Logika

Ilustrasi sosok ambisius tapi bingung mewujudkan ambisinya lantaran tidak memiliki kemampuan (foto dibuat menggunakan AI)

Penetapan puluhan SMK berstatus BLUD tanpa kesiapan SDM dan infrastruktur hanya “cet langet”. Ultimatum seharusnya menjadi cermin bagi pembuat kebijakan, bukan malah mengancam sekolah.

PERNYATAAN Plt Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Murthalamuddin, yang akan menutup Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) bila gagal mandiri selama tiga tahun, memantik pertanyaan mendasar. Apakah ancaman itu diarahkan kepada sasaran yang tepat?

Sebelum bicara soal sanksi, perlu menoleh ke belakang pada proses terbentuknya 68 SMK BLUD di Aceh yang sejak awal terlalu dipaksakan. Ketika Aceh menetapkan 68 dari 153 SMK negeri berstatus BLUD pada Maret 2023, langkah itu segera disambut sebagai “prestasi besar”.

Baca juga: Plt Kadisdik Aceh Ultimatum BLUD SMK: Mandiri atau Tutup?

Namun, di balik gemerlap seremoni, banyak pihak kala itu mengingatkan bahwa keputusan tersebut tidak didasari evaluasi kemampuan sumber daya manusia, kesiapan manajemen sekolah, dan infrastruktur pendukung.

Fakta kini berbicara. Sebagian besar SMK yang menyandang status BLUD belum mampu mandiri secara finansial. Langkah itu, dengan sendirinya, tampak sebagai ambisi yang melebihi kapasitas. Napsu that, tenaga hana.

Warisan Cara Kerja Pencitraan

Penetapan BLUD massal ini merupakan cermin cara kerja lama yang berorientasi pada pencitraan administratif, bukan substansi pendidikan. Kebijakan ini lahir dari hasrat untuk tampil sebagai provinsi dengan jumlah BLUD SMK terbanyak di Indonesia, tanpa menimbang kemampuan riil sekolah-sekolah yang dipaksa bertransformasi.

Baca juga: Kadisdik Aceh Alhudri Marah-marah, Sita Hp Kepsek pada Rapat Evaluasi Kelulusan PTN

Hasilnya kini terlihat: program BLUD tersendat, banyak sekolah kebingungan mengelola keuangan, dan infrastruktur pendukung — dari peralatan praktik hingga tenaga pengelola — belum siap.

Lebih dari separuh SMK di Aceh masih berada pada kategori belum layak mendukung program vokasi berbasis produksi. Maka, menuntut mereka menjadi BLUD mandiri dalam tiga tahun hanyalah bentuk ketidakadilan birokrasi terhadap realitas di lapangan.

Plt Kadisdik boleh saja menuntut pertanggungjawaban kepala sekolah. Namun, bila ingin adil, maka penilaian juga harus diarahkan ke atas: ke tataran manajerial Dinas Pendidikan itu sendiri.

Baca juga: Staf Disdik Aceh Difungsikan Seperti Buzzer

Gagalnya sebagian besar BLUD SMK mewujudkan kemandirian bukanlah kesalahan guru atau kepala sekolah semata. Ini adalah konsekuensi dari ambisi top manajemen Dinas Pendidikan di masa lalu yang tidak memiliki kompetensi memadai dalam mengelola sistem pendidikan vokasi.

Masalah ini sejatinya menyingkap kelemahan lama dalam struktur birokrasi Aceh: jabatan strategis diisi tanpa mempertimbangkan merit dan kapasitas profesional. Padahal, pendidikan — lebih dari bidang lain — menuntut pemimpin yang paham ekosistemnya, bukan sekadar pengelola administratif.

Pelajaran dari Masa Lalu

Fakta-fakta itu seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan hari ini. Aceh perlu berhenti mengejar angka dan mulai menata kualitas. Pendidikan vokasi tidak boleh dijadikan panggung pencitraan, karena yang dibutuhkan bukan jumlah BLUD terbanyak, tetapi sekolah yang benar-benar hidup dan mandiri.

Jika pemerintah kini mengancam akan menutup BLUD yang gagal mandiri, maka evaluasi harus menyeluruh dan obyektif. Jangan jadikan sekolah sebagai kambing hitam.

Baca juga: Framing Ranking 1

Realitas menunjukkan, lebih dari 50 persen SMK di Aceh masih kekurangan sarana, laboratorium, dan SDM yang memadai. Yang diperlukan bukan ancaman, melainkan pembinaan dan penguatan kelembagaan.

Kemandirian BLUD SMK memang tujuan ideal, tetapi jalan menuju ke sana tidak bisa dibangun di atas logika politik pencitraan. Pendidikan adalah kerja sistematis, bukan ajang kebanggaan seremonial.

Ultimatum tiga tahun seharusnya bukan hanya ditujukan kepada sekolah, melainkan juga kepada pembuat kebijakan. Bila BLUD gagal mandiri, maka bukan semata sekolah yang harus dievaluasi, tetapi juga cara berpikir dan pola kerja birokrasi pendidikan Aceh selama ini.

Sebab pada akhirnya, pendidikan tak bisa dikelola dengan citra. Ia hanya bisa tumbuh dengan kapasitas, kesungguhan, dan kejujuran dalam menakar kemampuan diri.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *