KabarAktual.id – Indonesia patut berbangga. Untuk pertama kalinya, bahasa Indonesia digunakan secara resmi dalam forum UNESCO. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mendapat kehormatan menyampaikannya pada Selasa, 4 November 2025, di markas besar UNESCO, Paris.
Namun, di balik kebanggaan itu, terselip pula keprihatinan. Dalam pidato bersejarah itu, Abdul Mu’ti justru menunjukkan kekeliruan mendasar dalam memahami karya sastra Indonesia. Ia tidak bisa membedakan antara pantun dan syair.
Baca juga: Ungkapan Krisis Kepemimpinan dalam Bahasa Aceh
Sebelum memulai pidatonya dalam bahasa Indonesia, kader Muhammadiyah itu membacakan sebuah ungkapan yang disebutnya sebagai pantun. Begini bunyinya:
“Bunga selasih mekar di taman,
Petik setangkai buat ramuan
Terima kasih saya ucapkan
Atas kesempatan menyampaikan pernyataan”
Mencermati bait-bait yang dibacakan oleh Mu’ti, jelas itu bukan pantun, melainkan bentuk syair berima a-a-a-a. Padahal, pantun memiliki struktur yang khas dan sudah diajarkan sejak di bangku sekolah dasar.
Baca juga: Arti Fonem A dalam Bahasa Aceh
Untuk mengetahui apa itu pantun sebenarnya, cukup mudah. Coba ketik di mesin pencarian atau tanya ChatGPT. Berikut definisinya:
Pantun adalah puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam satu bait, dengan pola sajak (a-b-a-b) dan rima yang berselang-seling. Setiap bait pantun memiliki dua bagian: dua baris pertama adalah sampiran sebagai pengantar, sedangkan dua baris terakhir merupakan isi yang mengandung pesan atau makna sesungguhnya.
Sebagai perbandingan, berikut contoh pantun yang dihasilkan ChatGPT:
Air jernih mengalir di kali
Tempat anak-anak mandi riang
Rajin belajar sejak dini
Hidupmu kelak pasti gemilang
Jelas berbeda dengan “pantun” versi Mendikdasmen.
Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas pendidikan dasar dan menengah, Abdul Mu’ti semestinya memahami dengan benar salah satu pelajaran dasar bahasa Indonesia ini. Bukan malah memberi contoh keliru di forum dunia.
Bangga itu penting, tapi pemahaman terhadap bahasa sendiri jauh lebih penting. Jangan sampai demi tampil di panggung internasional, kita justru mempermalukan khazanah sastra bangsa sendiri.[]












