KEGAGALAN Event Organizer (EO) dalam penyelenggaraan MTQ Aceh ke-37 di Pidie Jaya bukan sekadar persoalan administrasi atau teknis. Ini alarm keras bagi tata kelola pengadaan di daerah dan ujian bagi komitmen Aceh menjaga marwah syariat Islam di hadapan publik nasional.
Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang kondisinya saja dipertanyakan—kantor tak layak, akses sempit, dan fasilitas seadanya—ditunjuk mengelola proyek bernilai miliaran rupiah? Pertanyaan itu menohok Panitia Pengadaan di Pemkab Pidie Jaya dan seluruh pihak terkait.
Faktanya, PT QPro Creasindo sebagai pemenang tender telah menerima pembayaran sekitar 52 persen atau sekitar Rp 2,7 miliar. Namun, sehari sebelum pembukaan MTQ, panggung utama dan sejumlah arena lomba masih jauh dari selesai. Panitia daerah dan relawan akhirnya harus berjibaku di menit akhir demi menyelamatkan martabat tuan rumah.
Baca juga: EO Kabur Saat Acara Pemukaan Akan Dimulai, Panitia MTQ Aceh Terpaksa Ambil Alih Persiapan
Dalih perwakilan EO soal “urusan pribadi” tak cukup menjelaskan mengapa kontrak besar dikelola dengan cara amatiran. Apalagi, dokumen tender yang mestinya terbuka ke publik justru belum terpublikasi lengkap di sistem pengadaan daerah. Transparansi minim; masalah semakin tebal.
Kita tidak bisa menutup mata. Kasus ini berpotensi merugikan negara, sekaligus mempermalukan Aceh dalam hajatan keagamaan terbesar di Tanah Rencong.
Proyek MTQ bukan sekadar urusan panggung dan tenda. Ia menyangkut kehormatan Aceh sebagai satu-satunya daerah yang menerapkan syariat Islam secara resmi di Indonesia.
Baca juga: Diduga Sarat Permainan, Perusahaan EO MTQ Aceh di Pidie Jaya Dikhawatirkan tidak Layak
Jika kegiatan yang mengusung nilai-nilai keagamaan saja dikelola dengan buruk, bagaimana mungkin publik percaya pada komitmen syariat dalam urusan lainnya?
Penegak hukum harus turun tangan. Bukan hanya menyalahkan EO, tapi perlu ditelusuri juga:
• Apakah pemenang tender dipilih sesuai prosedur?
• Adakah permainan dalam penilaian kualifikasi perusahaan?
• Siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara yang mungkin timbul?
Karena inti persoalan ini bukan sekadar proyek yang telat selesai. Ini tentang moralitas dalam mengelola anggaran umat.
Jika dibiarkan, kasus seperti ini akan menjadi preseden buruk. Pejabat bebas menunjuk perusahaan tak layak, lalu meninggalkan masalah tanpa konsekuensi.
MTQ seharusnya menjadi panggung dakwah, bukan panggung korupsi terselubung. Aceh wajib menunjukkan bahwa syariat tidak berhenti pada simbol dan seremonial.
Integritas anggaran adalah bagian dari ibadah. Dan, amanah publik adalah bagian dari aqidah.
Agar kepercayaan tidak mati pelan-pelan, kasus ini harus diusut tuntas. Dari kontraktor, hingga siapa pun yang memberi restu dalam proses pengadaannya.
Jangan ada yang kebal hukum. Jangan ada yang sembunyi di tempat terang. Karena, di sini marwah Aceh dipertaruhkan.[]












