Opini  

Prabowo di Persimpangan Barat dan BRICS

Avatar photo
Presiden Prabowo Subianto di KTT PBB soal solusi dua negara Palestina-Israel (foto: YouTube United Nations)

PUJIAN bertubi-tubi dari Donald Trump kepada Presiden Prabowo Subianto di sela-sela KTT Perdamaian Gaza 2025 di Sharm el-Sheikh bukan sekadar basa-basi diplomatik. Lebih dari itu, komentar mengejutkan Benjamin Netanyahu yang menyebut “pidato Prabowo di PBB sebagai suara baru dari dunia Muslim moderat” memperlihatkan bahwa Barat kini menaruh perhatian serius terhadap arah kebijakan luar negeri Indonesia.

Pertanyaannya: apakah semua ini sekadar diplomasi pragmatis, atau bagian dari strategi halus Barat untuk menempatkan Prabowo dalam orbit kepentingan mereka — di saat Indonesia baru saja resmi menjadi anggota penuh BRICS?

Sepanjang 2025, Prabowo tampil aktif di dua panggung besar dunia: BRICS dan Barat. Di KTT BRICS di Kazan, Rusia, ia menegaskan komitmen Indonesia pada kerja sama multipolar.

Baca juga: Prabowo Ultimatum Israel di PBB

Beberapa bulan kemudian, ia tampil di KTT Perdamaian Gaza yang digagas Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi — dua tokoh yang jelas mewakili spektrum kepentingan Barat.

Dalam forum itu, momen “mikrofon menyala” ketika Prabowo berbincang langsung dengan Eric Trump menjadi viral. Publik melihat bagaimana hubungan personal bisa menjadi alat diplomasi yang lebih efektif dari sekadar pidato resmi.

Sementara itu, BRICS kini berkembang menjadi blok politik dan ekonomi tandingan Barat. Laporan Third World Quarterly bahkan menyebut BRICS sebagai “poros ideologis Global South” yang menantang dominasi G7 dan IMF.

Baca juga: PBB Sebut Indonesia dalam Bahaya

Di sisi lain, NATO diam-diam memperluas pengaruh ke Asia-Pasifik. Sebuah dokumen bertajuk “NATO Engagement in the Indo-Pacific?” menyebut Indonesia sebagai “pemain kunci non-anggota” yang perlu didekati melalui kerja sama non-tradisional, termasuk pelibatan elite militer senior.

Tiga Hipotesis

Setidaknya ada tiga cara membaca manuver diplomasi ini. Pertama, diplomasi normal dengan lapisan transaksi politik.

Pujian Trump dan Netanyahu bisa dibaca sebagai upaya membuka jalan kerja sama pragmatis. Dalam geopolitik realis, pujian sering menjadi pembuka negosiasi ekonomi, pertahanan, atau dukungan politik. Trump sendiri dikenal piawai memanfaatkan hubungan personal untuk membangun “utang budi” yang kelak dikapitalisasi dalam bentuk proyek investasi atau kesepakatan bisnis.

Kedua, kooptasi halus atau co-optation. Barat tahu bahwa mengubah arah politik Indonesia secara frontal mustahil. Tapi menggiring Prabowo agar lebih “ramah Barat” melalui pengakuan internasional, kerja sama ekonomi, dan citra positif di media — itu lebih mungkin dilakukan. Dalam skenario ini, bukan BRICS yang merekrut Prabowo, melainkan Barat yang berusaha menjinakkan pengaruh BRICS dari dalam.

Ketiga, strategi jembatan atau bridge diplomacy. Sebagai satu-satunya negara besar Muslim yang duduk di BRICS sekaligus punya hubungan strategis dengan AS, Eropa, dan China, Indonesia memiliki posisi unik. Barat tampaknya melihat Prabowo sebagai figur ideal untuk memastikan BRICS tidak menjadi blok anti-Barat.

Jadi, bukan menarik Prabowo menjauh dari Barat, melainkan memastikan BRICS tidak menariknya terlalu dalam.

Tiga Motif Utama: Ekonomi, Keamanan, Legitimasi

Ada tiga motif besar di balik pendekatan Barat terhadap Indonesia di bawah Prabowo.

Pertama, motif ekonomi. Pasar domestik Indonesia yang besar dan sumber daya alam melimpah — terutama nikel — menjadi incaran berbagai blok ekonomi. Bagi Trump, hubungan personal dengan Prabowo bisa menjadi pintu bagi investasi sektor energi, teknologi, dan infrastruktur.

Kedua, motif keamanan.Barat membutuhkan mitra di Asia Tenggara untuk menyeimbangkan pengaruh Beijing dan Moskow. Penelitian Asia-Pacific Regional Security Assessment (Lee & Schreer, 2022) menempatkan Indonesia sebagai target penting kerja sama pertahanan maritim, pelatihan militer, dan kontra-terorisme.Ketiga, motif legitimasi politik.

Prabowo mendapatkan pengakuan global yang memperkuat posisinya di dalam negeri. Sementara bagi Barat, Prabowo bisa menjadi mediator isu-isu global seperti Palestina-Israel, tanpa harus berhadapan langsung dengan sentimen anti-Barat di dunia Islam.

Penjajakan Pengaruh, Bukan Perekrutan

Hingga kini, tidak ada bukti kuat bahwa Barat sedang menjalankan operasi sistematis untuk menarik Prabowo ke dalam orbit mereka. Polanya lebih menyerupai “penjajakan pengaruh” — soft influence operation — yang membangun kedekatan personal, ekonomi, dan diplomatik agar Indonesia tetap terbuka terhadap kepentingan Barat.

Bloomberg (7 Januari 2025) mencatat bahwa Indonesia masuk BRICS dengan niat menjaga keseimbangan global, bukan menentang Barat. Dengan demikian, Prabowo tampaknya menerapkan versi baru politik nonblok: realistis, oportunis, tapi tetap berpijak pada perdamaian.

Indikator yang Perlu Dipantau

Ada beberapa indikator yang bisa menunjukkan ke mana arah hubungan Prabowo dan Barat akan berkembang.

1. Frekuensi pertemuan bilateral. Pertemuan intens di luar forum multilateral bisa menandakan upaya membangun kedekatan strategis.

2. Investasi perusahaan Barat di sektor strategis.Masuknya investasi besar di energi, pertahanan, atau infrastruktur dari perusahaan yang punya afiliasi politik dengan Barat patut diamati.

3. Kerja sama militer dan intelijen.Jika Indonesia menandatangani perjanjian pertahanan siber atau pertukaran intelijen dengan negara-negara NATO, itu bisa menjadi indikator peningkatan pengaruh Barat.

4. Sinkronisasi narasi media.Liputan internasional yang menonjolkan Prabowo sebagai “penentu masa depan BRICS” dapat mencerminkan strategi soft influence.

5. Pergeseran posisi diplomatik di PBB.Jika kebijakan luar negeri Indonesia mulai sejalan dengan agenda Barat tanpa dasar domestik yang kuat, alarm pengaruh eksternal perlu dibunyikan.

6. Jaringan bisnis lintas elite.Hubungan finansial atau personal antara lingkaran Prabowo dan tokoh politik Barat juga bisa menjadi kanal pengaruh yang sering tak tampak.

Antara Diplomasi dan Perang Pengaruh

Yang sedang berlangsung bukanlah perekrutan ala Perang Dingin, melainkan diplomasi pengaruh berbasis hubungan personal dan kepentingan ekonomi. Barat menyadari bahwa menghadapi BRICS secara konfrontatif tidak produktif. Maka, pendekatan kepada figur moderat seperti Prabowo justru menjadi jalan paling efisien untuk tetap punya tempat di peta kekuasaan Asia.

Namun Prabowo, dengan latar militer dan pandangan nasionalisnya, tampaknya cukup sadar dengan dinamika ini. Ia memilih menjaga jarak strategis: tidak terlalu dekat dengan Barat, tapi juga tidak larut dalam retorika anti-Barat BRICS.

Di titik ini, Prabowo justru tampak berusaha menjadikan Indonesia sebagai poros diplomasi baru — jembatan antara Barat dan Timur, antara BRICS dan dunia Islam, antara pragmatisme dan idealisme.

Dunia kini bergerak menuju tatanan multipolar, di mana tidak ada satu kekuatan tunggal yang dominan. Dalam lanskap seperti ini, kemampuan untuk berdiri di tengah — tanpa terseret dalam orbit kekuatan manapun — adalah seni diplomasi yang sesungguhnya.

Prabowo tampaknya mencoba memainkan peran itu. Ia tidak menolak pengaruh, tapi mengelolanya. Ia tidak menutup pintu kerja sama, tapi juga tidak membiarkan Indonesia dijadikan pion.

Jika berhasil menjaga keseimbangan ini, Indonesia bisa menjadi kekuatan penentu dalam arsitektur global baru: bukan sekadar pengikut, melainkan mediator yang dihormati. Tapi jika tergelincir sedikit saja, tarikan dua poros besar — Barat dan BRICS — bisa membuat Indonesia kehilangan arah strategisnya.

Maka, tantangan terbesar Prabowo bukan hanya menjaga hubungan luar negeri yang seimbang, tetapi memastikan bahwa diplomasi global tetap berpijak pada kepentingan nasional. Di tengah pujian, undangan, dan sorotan dunia, ia perlu memastikan satu hal: bahwa Indonesia tetap milik Indonesia.[]

Ruben Cornelius Siagian adalah penulis dan peneliti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *