Opini  

Rakyat Susah, Parpol Kenyang; Rp 29,3 Miliar Melayang

Avatar photo
Gambar hanya ilustrasi (foto: KabarAktual.id/ChatGPT)

PEMERINTAH Aceh baru saja menggelontorkan Rp 29,3 miliar uang rakyat untuk 13 partai politik lokal dan nasional. Caranya simpel: setiap suara sah Pemilu 2024 dihargai Rp 10 ribu. Jadi, suara rakyat yang semestinya jadi dasar kebijakan, malah dikonversi jadi duit hibah untuk partai.

Siapa yang paling banyak kebagian? Partai Aceh (PA) dapat jatah Rp 6,7 miliar, disusul Golkar Rp 3,2 miliar, PKB Rp 3 miliar, Demokrat Rp 2,3 miliar, hingga PDA, PNA, dan PAS Aceh dengan angka yang lebih kecil. Dalih resminya: buat pendidikan politik dan penguatan kader partai. Kedengarannya mulia, kan?

Tapi masalahnya, rakyat Aceh lagi susah. Angka kemiskinan masih tinggi, lapangan kerja seret, harga kebutuhan naik. Di tengah kondisi begini, wajar kalau publik bertanya: kenapa miliaran rupiah justru dialirkan buat partai, bukan buat beasiswa anak yatim atau bantuan usaha kecil?

Supaya partai mandiri atau malah manja?

Secara teori, pendanaan partai dari negara bisa menjadikan demokrasi lebih sehat. Kata International IDEA, kalau partai dibiayai publik, mereka tidak perlu terlalu bergantung ke cukong atau oligarki. Tapi, catatannya: harus ada transparansi, aturan ketat, dan pengawasan. Kalau tidak, justru jadi alat elite buat mengamankan kekuasaan.

Baca juga: Dengan “Harga” Rp 10.000 Per Suara Pemilih, Parpol di Aceh Raup Rp 29,3 Miliar

Faktanya, banyak studi politik mengatakan bahwa subsidi bisa bikin partai terlalu nyaman dan makin jauh dari rakyat. V-Dem Institute, misalnya, menemukan bahwa di banyak negara, dana publik sering dipakai buat patronase—alias politik balas budi. Bukan membuat partai jadi independen, malah bikin mereka manja.

Negara maju juga memberikan duit ke Parpol, tapi …

Sebenarnya, praktik seperti ini bukan cuma terjadi di Aceh. Negara maju juga melakukannya. Bedanya, mereka menerapkan aturan main yang ketat.

Jerman memberikan subsidi ke partai sesuai suara yang mereka dapat, tapi ada aturan unik: uang negara tidak boleh lebih besar dari dana mandiri partai (iuran anggota, donasi sah). Jadi, partai dipaksa tetap punya basis keuangan sendiri.

Baca juga: DPR dan Budaya “Muka Tebal”

Negara-negara Skandinavia juga memberikan dana ke partai, tapi semuanya harus transparan, dilaporkan ke publik, dan diaudit secara ketat.

Amerika Serikat bagaimana? Hampir tidak ada subsidi lagi. Sistemnya justru bergantung ke donasi swasta, yang problemnya beda: partai jadi tergantung ke konglomerat.

Artinya, bukan salah kalau ada dana publik buat parpol. Yang salah kalau duit rakyat itu dipakai seenaknya tanpa akuntabilitas.

Paradox policy ala Aceh

Yang membuat miris, dana Rp 29,3 miliar di Aceh diberikan saat rakyat lagi banyak butuh stimulus ekonomi. Ironisnya, suara rakyat di bilik TPS justru diterjemahkan jadi “voucher hibah” untuk partai. Ini namanya paradox policy: suara rakyat dibayar, tapi rakyatnya sendiri nggak kebagian manfaat nyata.

Uang rakyat, bukan uang elite

Kalau memang serius mau memperkuat demokrasi, hibah politik harus memperhatikan beberapa hal:

1. Transparan: publik bisa tahu duit itu dipakai untuk apa, sampai ke rincian.

2. Proporsional: jangan sampai hibah lebih besar dari pendapatan mandiri partai.

3. Audit independen: ada lembaga netral yang mengawasi, bukan partai mengawasi dirinya sendiri.

Tanpa itu, hibah politik cuma jadi cara elegan buat bagi-bagi kue kekuasaan. Rakyat tetap susah, elite yang kenyang.

Jadi, hibah politik Rp 29,3 miliar ini membuat kita bertanya: ini perilaku politik yang sehat, atau cuma demokrasi “ugal-ugalan” untuk melayani elite?[]

:: Penulis, adalah pengamat politik dan pemerintahan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *