Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengatakan, sekitar 80 persen pemerintah daerah (pemda) masih bergantung pada transfer pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan. Itu sebabnya ketika terjadi pengurangan, daerah “panik” dan membuat kebijakan aneh-aneh yang memicu gejolak.
Menurut Bima, Pemda bisa mendongkrak PAD dengan memanfaatkan Data Desa Presisi. Dengan itu, Pemda dapat memetakan sumber daya yang dimiliki. “Target pertumbuhan ekonomi nasional kan harus di-support oleh daerah. Daerah kan garda terdepannya. Di situlah peran penting data desa untuk penguatan kapasitas fiskal daerah,” ujarnya.
Kesalahan Bima adalah ketika dia melihat ketergantungan fiskal sebagai kelemahan. Padahal, kalau kita jujur, itu adalah konsekuensi logis dari struktur ekonomi Indonesia yang timpang.
Baca juga: Wamendagri: 80 Persen Pemda Bergantung dari Dana Transfer Pusat
Ada daerah yang kaya sumber daya alam, ada pula yang minim potensi. Dalam konteks negara kesatuan, dana transfer dari pusat justru menjadi instrumen paling rasional untuk memastikan layanan publik bisa sampai ke semua pelosok negeri.
Bayangkan kalau semua daerah dipaksa mandiri mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pulau-pulau kecil di Maluku, wilayah perbatasan di Kalimantan, atau daerah terpencil di Papua jelas tidak bisa disamakan dengan Jakarta atau Surabaya.
Bukan karena malas menggali potensi, tetapi memang struktur ekonomi lokal mereka terbatas. Tanpa transfer pusat, daerah-daerah ini bisa runtuh dan warganya kehilangan hak dasar atas pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
Baca juga: Jangan Sampai “Geurutee” Jadi Komoditas Politik
Prinsip otonomi daerah jelas: kewenangan yang dilimpahkan harus diikuti dengan dukungan anggaran. Istilahnya, money follows function. Hal ini diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan diperkuat dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Mengurangi dana transfer sama saja dengan melucuti “organ” daerah. Ibaratnya, mereka disuruh berlari kencang tapi tidak dibekali dengan asupan gizi yang memadai. Pusat menyedot hasil alamnya, tapi memangkas jatah mereka sembari memberi label buruk: ketergantungan.
Tidak realistis jika semua daerah dipaksa mengejar kemandirian PAD secara seragam. Yang harus dilakukan oleh Pusat justeru memperkuat daerah dengan mengejar berbagai ketertinggalan. Jangan hanya membangun Jakarta atau Pulau Jawa saja.
Indonesia harus diperbaiki dari segala pelosok. Jadi, dari konteks ini tidak ada yang salah dengan dana transfer pusat. Ia juga berfungsi sebagai instrumen stabilisasi nasional. Dengan transfer, pusat bisa mengendalikan distribusi pembangunan agar tidak terjadi ketimpangan yang tajam antarwilayah.
Tanpa mekanisme ini, akan terbentuk kluster kesejahteraan yang hanya dinikmati kota besar, sementara daerah akan semakin terpinggirkan. Ketergantungan justru menjadi mekanisme pengikat integrasi nasional: daerah tetap hidup, rakyat tetap terlayani, dan negara tetap utuh.
Kita sepakat bahwa PAD harus diperkuat. Tetapi memperkuat PAD tidak identik dengan mengurangi ketergantungan pada transfer. Keduanya bisa berjalan dengan paralel. Jangan lupa, dari hasil alam dan kekayan negara, ada hak daerah di sana.
Transfer pusat bisa difokuskan untuk menutup kebutuhan dasar, sementara PAD untuk pengembangan sektor-sektor unggulan yang ada di daerah. Dengan begitu, beban rakyat tidak bertambah melalui pajak lokal yang memberatkan, dan pembangunan tetap berjalan tanpa menunggu “mandiri” secara penuh.
Di titik ini, kita bisa melihat bahwa perdebatan soal “ketergantungan” sebetulnya kurang tepat. Yang penting bukan apakah daerah masih bergantung pada pusat, tetapi bagaimana dana transfer itu digunakan. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat adalah kunci.
Dengan transfer pusat yang dikelola baik, daerah miskin fiskal tetap bisa melayani warganya, dan negara tetap hadir di semua sudut. Bukan ketergantungan yang harus dipersoalkan, melainkan bagaimana menjadikan transfer pusat sebagai pilar pemerataan yang adil dan berkelanjutan.[]
:: Penulis adalah Direktur Emirates Development Research, berdomisili di Banda Aceh