News  

“Asbabunnuzul” Proyek Wastafel (4): DAN, RACHMAT FITRI PUN TERJUNGKAL

Rachmat Fitri dijebloskan ke penjara

PENEGAKAN hukum terhadap pelaksana paket terus bergulir. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh pada Agustus 2023 mengumumkan hasil audit BPKP Perwakilan Aceh: kerugian negara Rp7,2 miliar dari pagu Rp41,214 miliar APBA refocusing 2020—angka yang berulang dikutip penyidik sejak awal.

Setelah berjalan sekian lama, Pengadilan menjatuhkan vonis penjara untuk Rachmat Fitri berikut dua stafnya. Karena merasa diperlakukan tidak adil, Rachmat Fitri sempat mengajukan banding. Hasilnya tetap sama; Rachmat bersalah.

Di tingkat peradilan, perkara terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan Rachmat Fitri berakhir pada putusan Mahkamah Agung. Ia dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Banda Aceh pada 8 Agustus 2025 untuk menjalani hukuman 4 tahun penjara—hasil kasasi yang memperberat vonis PN Tipikor 1 tahun. Informasi ini disampaikan sejumlah kanal resmi kejaksaan daerah dan dilaporkan media lokal; putusan banding dan kasasi menaikkan hukuman menjadi 4 tahun.

Baca juga: “Asbabunnuzul” Proyek Wastafel (3): RACHMAT MASIH KADIS, TAPI KEWENANGANNYA DILUCUTI

Terbaru, 3 September 2025, polisi menetapkan adik kandung Kausar Muhammad Yus, yaitu Syifak Muhammad Yus—kontraktor pengadaan wastafel yang mengelola 159 paket, diduga milik abangnya—sebagai tersangka. “Benar (sudah tersangka),” kata Dirkrimsus Polda Aceh Kombes Zulhir Destrian, kepada wartawan di Banda Aceh.

Penyidik telah memanggil Syifak pada 1 September, namun yang bersangkutan meminta penundaan. Sampai berita itu diturunkan, ia belum ditahan. Polda menyebut penetapan tersangka baru akan melihat hasil pemeriksaan lanjutan.

Mengikuti benang merahnya, proyek wastafel lahir dari perintah refocusing—dari struktur komando yang mengencang di tengah pandemi. Program BEREH yang menuntut kerapian laci dan estetika ruang kelas menjadi latar psikologis bergulirnya proyek wastafel.

Baca juga: Birokrasi Aceh Butuh Restorasi Total Usai “Pak BEREH” Pergi

Di Dinas Pendidikan, Rachmat menjadi figur tanoh leumiek—lahan yang paling gampang dibentuk. Kariernya relatif mulus: camat, wakil bupati, eselon II. Ia bukan datang dari tradisi pendidikan; para kolega menyebutnya “patuh”. “Dia mudah ditakut-takuti, juga gampang terjebak karena ketidaktahuan soal hal teknis,” kata seorang pejabat yang pernah satu atap.

Sejumlah berkas memperlihatkan, peran eksekutor justru melekat pada pejabat di bawahnya, Nara—orang kepercayaan Sekda. Dalam pertemuan-pertemuan kunci, Nara disebut lebih sering dipanggil ke ruang inti ketimbang kepala dinasnya. Tapi, beberapa kali dikonfirmasi via telepon dan WhatsApp, Nara tak pernah merespon.

Ketika perkara naik ke pengadilan, narasi terasa beringsut. “Ceritanya terbalik,” kata Tanzil Munawar, pengacara Rachmat, dalam satu kesempatan. Menurut dia, peran aktor intelektual di balik proyek—nama-nama tersebut di atas, seperti Nova Iriansyah, Bustami Hamzah, Kausar Muhammad Yus, Hendra Budian, dan Zulfikar alias Om Zul—tidak diulik jaksa.

Dari sisi kebijakan, refocusing 2020 adalah respons darurat. Pemerintah pusat memerintahkan realokasi massif; provinsi bergerak mengatur ulang program. Di Aceh, Sekda memosisikan wastafel sebagai kampanye higienitas—sejalan protokol kesehatan kala itu.

Pertanyaannya, ketika gagasan berjalan, siapa yang memegang kendali di detail-daya beli: spesifikasi, harga, pemerataan, dan kualitas? Pemecahan 405 paket pengadaan langsung—kalau pun dibenarkan regulasi darurat—mengundang risiko fragmentasi, mengaburkan akuntabilitas, dan membuka ruang titipan. “Paket dipecah berdasarkan nama,” begitu inferensi YARA dari dokumen yang mereka kumpulkan.

Di sekolah, praktiknya membekas pada barang kasat mata: wastafel yang berjejer di teras-teras kelas. Ada yang jauh dari standar, ada yang karatan, ada yang mangkrak. Angka kerugian ditaksir Rp7,2 miliar—hanya secuil dari pagu. Padahal, jika kerugian material adalah “ujung” yang terukur, kerusakan lebih besar ada pada tatakelola: bagaimana keputusan diambil, bagaimana pengawasan berfungsi, bagaimana “perintah” disalurkan, dan sejauh apa mekanisme kontrol internal berani berkata tidak.

Kisah tendangan kursi di meja bundar memberi gambaran soal relasi kuasa dalam birokrasi. Teknik “shock and awe” mungkin efektif untuk menegakkan disiplin; namun ia juga bisa memproduksi kepatuhan semu, membuat orang berhenti kritis.

Di ujung 2025, kasus wastafel menyeruak lagi. Mahkamah Agung telah mengunci vonis 4 tahun bagi Rachmat Fitri; dan polisi menambah satu tersangka lagi, Syifak Muhammad Yus Ini membuka peluang pengembangan baru untuk kembali ke aktor di belakang wastafel yang hingga kini masih melanggang di luar. Siapa yang memulai, siapa yang memerintah, siapa yang mengendalikan arus paket.

“Kalau arahan pimpinan maka kita harus melaksanakan,” kata Rachmat pada April 2020. Lima tahun kemudian, kalimat itu terdengar seperti kunci untuk membuka pertanyaan lain: sampai di mana batas “arahan” dalam negara hukum yang menuntut pertanggungjawaban individual? Di ruang rapat yang pernah hening oleh tendangan kursi itu, jawaban belum juga datang.

Barangkali, pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan cuma wastafel mengkilap, melainkan cermin: agar semua yang berdiri di hadapannya—Nova Iriansyah, Taqwallah, Bustami Hamzah, Teuku Nara Setia, Kausar Muhammad Yus, Hendra Budian, dan Zulfikar alias Om Zul—tak lagi bisa mengelak dari bayangannya sendiri.[selesai]

:: JARINGAN JURNALIS INVESTIGASI SUMATERA (JJIS).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *