SENIN, pagi itu, menjadi hari yang sibuk bagi Maulidar dan suaminya. Bagaimana tidak, ini adalah hari pertama tahun ajaran baru.
Semua orang tua pasti tidak sabar, ingin segera bisa sampai ke sekolah anak; ingin memastikan si buah hati aman di hari pertama sekolah. Segala keperluan pasti sudah disiapkan sejak semalam atau bahkan sejak jauh-jauh hari.
Begitu yang lumrah terjadi. Tapi, tidak bagi Maulidar. Pada saat yang lain fokus untuk segera bisa mengantarkan si buah hati ke sekolah, ia justru harus menyempatkan diri memeriksa kesiapan anak asuhnya; bukan buah hatinya.
“Pagi itu sebelum berangkat ke kantor, saya dan suami pergi ke Taman Edukasi Anak Pemulung lebih dulu. Kami mau mengecek apakah semuanya sudah berangkat sekolah atau belum, walaupun sebelumnya, semua sudah diingatkan untuk ke sekolah,” tukas Maulidar sambil melempar senyum.
Pagi itu, mereka mendapati Syahril, seorang anak asuhnya, masih tiduran di kursi kayu depan rumah. Sang anak yang biasa mereka panggil Bo itu belum berangkat ke sekolah. “Kenapa anak ini belum juga berangkat?” gumam Maulidar dalam hati.
Maulidar menghampiri. Dengan hati-hati dan pelan, ia menyapa. “Kenapa belum ke sekolah, nak.”
Maulidar merasa sedih. Air matanya berlinang. Perasaannya campur aduk. Ada juga penyesalan, kenapa tidak dari kemarin ia memeriksa kebutuhan sekolah hari pertama anak ini.
Ternyata Bo tidak memiliki seragam sekolah. “Makanya, pagi itu, kami harus keliling pasar dulu buat cari seragam merah putih untuk Bo. Setelah itu langsung mengantarkannya ke sekolahnya” kenang Maulidar.
Kejadian yang dialami Bo sangat membekas di pikiran Maulidar. Waktu itu, meski sebetulnya masih banyak yang harus dibeli, dia mesti bergegas, takut Syahril terlambat tiba di sekolah. “Sekolah memang gratis. Tapi, banyak perlengkapan lain yang harus dipenuhi, seperti buku dan juga alat tulis,” kata Maulidar kepada kiprah.net dalam bincang-bincang, suatu sore.
Maulidar Yusuf adalah penggagas program pendidikan bagi anak pemulung. Sejak masih mahasiswa tahun 2012, ia sudah melakukan interaksi dengan pemulung di Kampung Jawa, Banda Aceh. Ia mengaku prihatin melihat anak usia sekolah tidak mendapatkan layanan pendidikan.
Kebetulan sekali, waktu itu, sebuah LSM sedang mencari desa binaan. Maulidar menawarkan untuk meninjau sebuah lokasi, dekat kawasan penampungan sampah di Kampung Jawa. Ini dilakukan Maulidar karena satu dorongan yang menyesakkan dada. “Saya sedih melihat kondisi mereka di sana. Terkadang ada yang tidur dalam gubuk kardus beralaskan tanah. Anak-anak mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka ada di sudut kota Banda Aceh yang sudah rapi,“ ujar Maulidar.
Apa yang disaksikannya, saat itu, membuka memori masa lalu saat ia dan keluarganya hidup di pengungsian, baik pada masa konflik maupun pascabencana tsunami. “Saya bisa merasakan bagaimana tidak nyamannya hidup seperti itu. Dari situ, timbul keinginan untuk membantu,” alumni Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry ini memberi penjelasan.
Hasrat Maulidar untuk meringankan beban lebih banyak lagi anak-anak pemulung begitu menggebu. Tapi, ia menghadapi kendala finansial. Karena itu, dia berpikir, biarlah dia memberikan “sedekah ilmu”. “Selain ringan biaya, juga berguna,” katanya.
Maka, mulailah dia mengembangkan gagasan untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak pemulung Kampung Jawa.
Pada awalnya, di sana, sudah ada cikal bakal kolompok belajar. Maulidar, lalu, mengembangkannya. Terbentuklah sebuah komunitas yang bersifat permanen. Sekolah nonformal itu mereka namai Taman Edukasi Anak Pemulung.
Dia menceritakan, ketika komunitas ini baru terbentuk, belum ada lokasi tetap yang bisa digunakan sebagai tempat belajar. Mereka berpindah-pindah menyesuaikan dengan kondisi cuaca. “Kadang kami mengelar terpal di pelataran tanggul sungai. Kalau hujan turun, kami segera mengungsi ke teras rumah terdekat,” kenang Maulidar.
Sejak beberapa bulan lalu, anak-anak pemulung Kampung Jawa telah memiliki tempat belajar permanen. Sejumlah donatur ikut peduli, memberikan bantuan. “Ada beberapa sumbangan yang kami terima, salah satunya dari Bu Darwati (istri Irwandi Yusuf, red). Akhirnya, adik-adik di sini tidak perlu lagi pindah-pindah lokasi belajar. Tidak lagi cemas saat hujan,” papar Maulidar tersenyum.
Taman Edukasi, awalnya, hanya mengasuh 30 anak. Kini, lembaga pendidikan nonformal itu sudah memiliki 70 siswa binaan. Para relawan sekolah ini datang silih berganti dan dari berbagai latar belakang. Antusias anak-anak saat belajar menjadi motivasi bagi mereka untuk terus berbagi ilmu.
“Namannya aja relawan. Jadi, tidak ada yang bisa full time. Tapi, kita punya grup komunikasi untuk selalu bisa terhubung. Dengan bantuan sarana itu, perencanaan pendidikan di Taman Edukasi bisa dilakukan secara kontinyu. Jadwal selama seminggu penuh selalu terisi, sehingga tidak ada kelas yang kosong,” katanya.
Waktu belajar di Taman Edukasi ini berlangsung setiap Rabu sampai Minggu, dari pukul 16.00 hingga 18.00. Hari Senin dan Selasa digunakan untuk membuat perencanaan; menyusun jadwal, mempelajari materi yang akan diajarkan, dan membuat evaluasi program. Peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok. Sehingga, pembinaan bisa dilakukan lebih fokus dan efektif.
Ada kelas baca tulis, mengaji, berhitung, juga ada Bahasa Inggris. Anak-anak ini juga diperkenalkan pada seni budaya. Mereka diajarkan tarian seperti ranup lampuan, ratoh jaro, dan lainnya. “Kami punya sanggar dan siap manggung kalau dipanggil.” kata Maulidar mempromosikan anak asuhnya.
Kemudian dia menambahkan, bahwa pihaknya sekali-kali mengadakan pelatihan life skill untuk anak asuhnya. “Tapi, ini lagi-lagi tergantung ketersediaan relawan.”
Maulidar bercerita, pada awalnya, tidak semua orang tua senang anak mereka belajar di Taman Edukasi. Hal ini dikarenakan mereka lebih ingin anak-anak bekerja mengutip sampah untuk menambah uang belanja. Namun, lambat laun para orang tua mengerti dan senang dengan perkembangan anaknya. “Ada juga yang tidak peduli sama sekali, tapi semangat anak mereka mereka untuk belajar itu luar biasa,” ujar perempuan kelahiran 1991 ini.
Agar proses belajar bisa menarik minat anak-anak, para relawan menerapkan metode belajar yang beragam, seperti education traveling. Dalam konsep ini, mereka mengajak murid-murid ke perpustakaan, museum, dan lokasi menarik lainnya.
Konsep belajar sambil bermain diterapkan dengan maksud agar peserta didik tidak kehilangan masa kecilnya. “Banyak bantuan yang datang kemari, misalnya ada yang mengantar bakso, jasa potong rambut gratis dan lainnya. Anak-anak sangat gembira dan kita juga senang melihat senyum mereka,” ujar Maulidar.
Sebenarnya, menurut kalkulasi Maulidar, jumlah relawan pendidikan di Taman Edukasi sudah memadai. “Namun karena ada beberapa anak putus sekolah, makanya kita butuh beberapa relawan lagi untuk memberikan kelas privat sehingga nanti mereka bisa ikut ujian paket A dan melanjutkan pendidikan ke SMP,” ujar Maulidar.
Karena itu dia mengajak kalangan yang peduli untuk bergabung menjadi volunteer pendidikan. “Kalau ada yang mau mendampingi, mengajarkan life skill secara teratur, itu juga sangat bagus untuk perkembangan anak-anak,” tambahnya lagi.
Kini, di samping mengurus anak-anaknya di Kampung Jawa, Maulidar Yusuf telah memiliki tugas utama, sebagai Humas di Balai Diklat Pelayaran Kementerian Perhubungan. Meski demikian, dia mengaku tidak mengurangi kepedulian untuk Taman Edukasi. “Kalau saya sibuk, ada suami yang membantu. Suami saya sangat mendukung kegiatan ini dan dia selalu memberikan masukan dan membantu secara langsung. Saat hamil sekarang pun, saya masih mengajar di sana,” tukas isteri Aiyub Bustamam ini.
Seperti semboyannya sejak pertama menjalankan aktivitas ini, tampaknya Maulidar dan tim telah menjadikan Taman Edukasi sebagai ladang tempat beramal. Mereka seakan tidak merasa lelah membimbing anak-anak pemulung. Ada rasa bahagia ketika mendengar anak-anak bisa meraih prestasi.
Rasa lelah Maulidar dan para relawan lainnya terbayar dengan berhasilnya anak didik mereka menjadi juara kelas di sekolah-sekolah. “Mereka semuanya pintar-pintar dan hanya perlu sedikit dorongan,” ucapnya optimis.
Keinginan terbesar Maulidar saat ini tidak muluk-muluk. Dia sedang berusaha keras agar semua anak didiknya tidak putus sekolah dan terus belajar. Agar mereka tidak bercita-cita mengikuti jejak orang tua mereka menjadi pemulung. “Setiap anak berhak untuk bahagia dan terdidik,” tutup Maulidar mengakhiri perbincangan kami.
Laporan: Khiththati
Editor: Adhie Gunong Ceukok