LEBIH dari 300 anak dari 31 provinsi di Indonesia unjuk kebolehan bermain musik tradisi. Kegiatan tahunan yang digelar Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Graha Bhakti Budayan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25-27 Oktober 2018 itu bertajuk konser karawitan anak Indonesia.
Direktur Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Restu Gunawan, kepada wartawan, Sabtu (27/10) mengatakan, anak-anak usia sekolah yang tampil pada Karawitan Anak Indonesia 2018 ini telah lulus seleksi di daerahnya masing-masing. Grup yang tampil ini sudah diberikan peningkatan kompetensi melalui lokakarya untuk kemudian hadir di tingkat nasional.
“Konser musik tradisi ini menjadi bagian dari pendidikan karakter yang tengah digalakkan pemerintah. Bermusik bagi anak-anak dapat mengembangkan berbagai sifat terpuji seperti pemberani, halus budi, disiplin, tanggung jawab serta kemampuan bekerja sama,” kata Restu. Dia didampingi Kepala Sub Direktorat Kesenian Bidang Seni Pertunjukan, Edi Irawan.
Selain mengasah potensi dan kecintaan anak pada musik tradisinya, kegiatan ini juga menjadi ajang untuk mempertemukan berbagai komunitas musik di tanah air dalam satu wadah pentas seni. Dari sini harapannya adalah muncul pemahaman dan kerja sama yang lebih mendalam dan apresiasi terhadap budaya yang lebih bermakna.
Konser Karawitan Anak Indonesia memang digarap serius. Sejumlah pengamat dan praktisi seni seperti Gilang Ramadhan (pemusik), Suhendi Afryanto (ahli karawitan dari Bandung), Bens Leo (wartawan dan pengamat seni musik), Embi C Noer (komponis musik film) serta Jabatin Bangun (Dosen Musik Institut Kesenian Jakarta), turut mengawal perhelatan ini, khususnya untuk menjaga marwah jiwa musik yang murni pada diri anak-anak itu sendiri.
Embi C Noer, dalam makalahnya menyatakan, pada jiwa setiap anak yang tinggal di berbagai wilayah budaya Nusantara, pada umumnya telah memiliki potensi kekayaan musikalitas yang khas dan unik. Cara memerolehnya pun alamiah.
Sayangnya, lanjut dia, potensi musikal tersebut sering terkubur oleh pola pendidikan musik di sekolah yang kesannya menjadi keharusan. Tanpa konfirmasi dan verifikasi, siswa diharuskan berlatih dengan berbagai aturan musik. Kecil sekali kemungkinan siswa mendapat dukungan untuk musikalitas yang telah ada dalam dirinya.
Karena itulah, lanjut Embi, saat ini sulit sekali menemukan kebahagiaan anak-anak dalam bermusik. Kekayaan dan kekhasan musik anak-anak dari berbagai daerah semakin lama semakin punah, bersamaan dengan punahnya kebahagiaan anak-anak dalam bermusik.
“Festival musik etnis seperti yang hadir lewat karawitan anak Indonesia ini dapat menjadi ajang mengembalikan kebahagiaan anak dalam bermusik. Sebab dalam konsepnya, anak-anak sendiri yang menentukan akan digarap seperti apa musik yang akan ditampilkan. Para pembimbing musik hanya sekedar membantu membuat partitur dan memfasilitasi teknik dasar melatih stamina dan konsentrasi anak-anak,” kata Embi C Noer.
Alhasil, seluruh tim karawitan anak Indonesia tampil memukau. Dari Aceh tampil Sanggar Oloh Guel dari Takengon, Aveh Tengah. Sebanyak 8 anak memainkan Bergegure, yang artinya bergembira. Karya musik tradisi bergegure menceritakan kebiasaan masyarakat Gayo masa lalu, saat menjelang masa panen padi.
Para petani akan sangat telaten menjaga sawahnya yang hendak panen, dari serangan hama burung-burung. Kebiasaan ini biasanya dilakukan dari benyang atau jamur (rumah di tengah sawah yang dibuat dari bambu). Mereka bertepuk tangan dan terkadang menyanyikan irama-irama dan tarian kecil.
Tim karawitan SD YPGMI AN dari Sumatera Utara juga menampilkan seni musik tradisi yang jarang dibawakan pada masa kini. Adalah Inang -Inang Olo, sebuah nyanyian anak- anak Suku Karo pada masa lampau yang dimainkan dengan apik oleh sedikitnya 8 anak-anak. Nyanyian kegembiraan anak-anak ini sudah jarang ditampilkan hadapan publik karena anak-anak telah banyak terpengaruh game online dan orang dewasa pun sibuk dengan kesibukannya.
Bens Leo, pengamat musik Indonesia mengatakan pentingnya seni tradisi lokal kembali bergairah di kalangan anak-anak. Bukan sekedar mencegah hilangnya sebuah generasi, lebih dari pada itu adalah menghidupkan generasi itu sendiri. Sebab dalam jiwa dengan musikalitas murni seperti pada anak-anak, perlu dilestarikan demi kesinambungan generasi masa depan.[]AGUS SUSILO