SECUIL kisah di arena konflik masa itu. Edisi wawancara khusus Syarbaini Oesman dengan Wali Nanggroe Tgk Hasan Tiro, lewat mesin faximile, meletup di pasaran. Tabloid KARISMA ludes sejak pagi.
Tapi, ada semacam bara yang menumpuk dan membakar dada lelaki yang kini 60 tahun itu. Sebagai jurnalis, Syarbaini tak ingin cuma jadi saksi sejarah yang diam di zona nyaman. Ia ingin menjadi serpihan sejarah perang, menyusup lebih dalam ke sumsum konflik Aceh: menemui Panglima Gerakan Aceh Merdeka, Tgk Abdullah Syafiie, di markas gerilyanya di Tiro, Pidie.
Linimasa itu terekam pada paruh waktu antara 1999—2000, saat gelombang pengungsian imbas perang “sedarah” menjadi denyut harian dan dentuman senjata seperti azan yang tak pernah usai.
Beni—sapaan karib Syarbaini Oesman di komunitas jurnalis—menginap di sebuah hotel kecil di Sigli. Esoknya, ia menumpang labi-labi (angkutan dalam kota) ke Beureunuen. Pasar kecil di kota dagang itu menyambutnya dengan kebisingan yang getir.
Di antara kios koran, Beni melihat sesuatu yang mengusik: fotokopi teks wawancaranya dengan Hasan Tiro, dipajang bersisian dengan tabloid dan majalah. Tubuh lelaki serius ini seketika panas dingin. “Bagaimana jika ada yang mengenali saya?” gumam Beni. Dalam keadaan seperti ini, pikirnya, nama bisa berubah jadi nasib buruk.
Baca juga: Sebuah Kenangan Wawancara Khusus dengan Paduka Yang Mulia Hasan Tiro
Sekelebat dari rasa takut itu, Beni bergegas memutar arah balik ke Masjid Abu Beureueh—jaraknya sepelemparan batu—menyaru mengambil data pengungsi yang tumpah ruah di situ. Lalu, melanjutkan langkah ke Masjid Teupin Raya, tempat ia akan bertemu orang kepercayaan Tgk Lah, sapaan Panglima GAM Tgk Abdullah Syafiie.
Sore itu langit telah condong ke barat. Beni tahu, waktu berisiko ini bukanlah saat yang bijak untuk bertandang ke basis gerilya. Tapi deadline adalah panglima baginya.
“Bang, nyo ka seupot. Hanjeut ek le menyo ino hat,” kata pemuda yang tak sempat Beni ingat wajahnya. Sudah sore, katanya, dan tidak boleh lagi menuju ke sana. Tapi Beni kukuh dan terus memohon. Dengan suara yang nyaris bergetar, Beni katakan bahwa ia harus bertemu Panglima. Demi naskah. Demi mengunggah kebenaran perjuangan ke ruang publik lewat media.
Akhirnya kesepakatan tertunai. Beni dibonceng motor oleh lelaki itu, menyusuri pematang sunyi dan menegangkan. Tanpa penutup mata—tak seperti kebiasaan orang yang akan bersemuka dengan Tgk Lah.
Setiap jengkal gerak roda motor itu terekam di ingatan Beni. Ia bisa leluasa memandangi kesibukan para petani menanam palawija di hampir sepanjang jalan desa. Mereka seketika berdiri, menatap lama gerak dua lelaki yang tak biasa itu. Seperti sedang menilai: siapa orang asing yang berani menyusup ke wilayah maut kala matahari hampir hilang?
Dia ambar sore itu, perasaan Beni berkecamuk, campur aduk: antara gentar dan penasaran. Tiba di sebuah pos, beberapa pasukan GAM berjaga. Laras panjang otomatis di tangan, siaga penuh. Tak ada interogasi. Mereka melaju ke sebuah bangunan sekolah dasar. Di sanalah Tgk Lah berdiri tegak—berseragam loreng dan senjata di bahu. Di kiri dan kanannya, pasukan Inong Bale menyambut dengan sikap sempurna. Ia seperti tamu kenegaraan di negeri “bayangan”.
Beni digiring masuk ke ruang kelas. “Tgk Lah duduk di kursi guru, saya di depannya,” cerita Beni. Tapi bukit di luar jendela menghantui batin lelaki yang menimba ilmu jurnalis dari banyak media ini. “Kalau tiba-tiba TNI menyerbu dari balik bukit, tamatlah saya. Saya tak membawa apa pun selain pena!”
Tgk Lah menangkap keresahan Beni. “Buno gata peugah keuneuk wawancara?” tanyanya. Beni tertunduk karena semua rencana awal buyar gara-gara nyali jurnalisnya mendadak ciut. “Tak lama, Tgk Lah membawa saya keluar ruangan, semangat saya membaja lagi. Dan, alhamdulillah wawancara singkat itu pun berlangsung di luar ruangan.”
Ketika itu, pertanyaan-pertanyaan dijawab singkat oleh Tgk Lah. Di mata Beni, lelaki sohor dan paling dicari oleh TNI dan polisi ini adalah sosok yang sangat berwibawa, bersahaja, dan humble. Tak banyak kata, tapi cakapnya cukup menginspirasi untuk ditulis.
“Itu adalah pertemuan pertama dan terakhir saya dengannya,” kenang Beni. Tak lama kemudian, Tgk Lah gugur, ditembak. Kemudian hari, kisahnya terus hidup di rimba jurnalisme lintas generasi.
Kini, tiap kali mengingat peristiwa itu, Beni sadar: jurnalisme bukan hanya soal menulis. Ia juga tentang keberanian menembus marabahaya, mengurai kabut informasi, dan membisikkan sisi genting kemanusiaan pada dunia yang mabuk peluru.
Perang mungkin merenggut tubuh, tapi kisah-kisah inilah yang menyelamatkan makna manusia dari kegaliban perang itu sendiri.[]
:: Dikutip dari eBook “Risalah Jurnalis di Konflik Aceh”, Penyusun Ramadan MS, Editor Maskur Abdullah