News  

Refleksi 20 Tahun MoU Helsinki, Pengamat Aceh: Perdamaian Jangan Malah Melemahkan!

Usman Lamreung

KabarAktual.id – Dua puluh tahun pasca-MoU Helsinki, Aceh telah meninggalkan perlawanan bersenjata dan memilih berjuang melalui jalur politik. Sebagai “kendaraan”, para elitnya kemudian membentuk partai politik lokal.

Hari ini, tanggal 15 Agustus 2025, Aceh memperingati 20 tahun perdamaian. Perjalanan 20 tahun bukan waktu yang singkat, semestinya sudah mengantarkan daerah ini pada sebuah kondisi yang lebih baik. Sesuai dengan cita-cita perjuangan ingin meningkatkan kesejahteraan.

Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerintahan, Dr Usman Lamreung M.SI, mengatakan, Partai Aceh (PA) menjadi simbol transformasi perjuangan eks-GAM. Tapi, ibarat dua sisi mata uang, kata dia, dialektika demokrasi kemudian juga memberi peluang untuk hadirnya partai lokal lainnya.

Menurut direktur lembaga kajian Emirates Development Research (EDR) ini, kehadiran banyak partai lokal justru melemahkan konsolidasi politik rakyat dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Kalau tidak dikelola dengan hati-hati, kata dia, gejala ini akan berimbas lebih luas. “Ini membuka peluang pragmatisme yang berpotensi melemahkan bargaining position Aceh,” ujarnya kepada KabarAktual.id, Jumat (15/8/2025).

Usman menambahkan, harapan besar dari MoU Helsinki adalah kesejahteraan rakyat Aceh melalui berbagai kekhususan: partai lokal, kelembagaan wali nanggroe, pelaksanaan syariat Islam, pengelolaan sumber daya alam, hingga dana otonomi khusus.

Namun, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan. Kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu pendidikan, korupsi, serta maraknya narkoba menjadi gambaran nyata bahwa kekhususan belum sepenuhnya menghadirkan kemajuan.

Baca juga: Sebuah Kenangan Wawancara Khusus dengan Paduka Yang Mulia Hasan Tiro

Dikatakan, berbagai polemik, seperti Qanun bendera dan lambang Aceh yang tak kunjung terselesaikan selama 12 tahun, hingga lembaga Wali Nanggroe yang terjebak pada peran seremonial, menunjukkan lemahnya komunikasi politik antara Aceh dan pusat. “Padahal, konsolidasi elit dan kelembagaan seharusnya menjadi kunci untuk memperjuangkan hak-hak politik dan kekhususan Aceh sesuai amanat MoU,” ucap akademisi ini.

Memasuki fase kedua perdamaian, sambungnya, tantangan terbesar yang dihadapi Aceh adalah memastikan kekhususan benar-benar bermanfaat untuk rakyat. Pemerintah Aceh, DPRA, partai lokal, dan tokoh masyarakat harus bersatu, konsisten, dan berorientasi pada kepentingan publik: pendidikan, kesehatan, pangan, dan pemberdayaan ekonomi.

Pada bagian akhir pernyataannya, Usman mengingatkan satu hal yang sangat penting terkait komitmen elit dalam memajukan kesejahteraan rakyat dengan menyusun program yang konsisten, tidak hanya populis. “Jika tidak, cita-cita damai Helsinki hanya akan menjadi catatan sejarah, bukan kenyataan bagi kesejahteraan rakyat Aceh,” pungkasnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *