Diam-diam, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) “mengintai” saldo rekening tabungan masyarakat. Dalam senyap, mereka membuat kesimpulan keliru: ditemukan puluhan rekening dormant (tidak aktif), lalu memblokirnya.
Untuk melegitimasi pola kerja yang mencurigakan itu, mereka mengemukakan pembenaran yang cukup memojokkan. “Rekening dormant digunakan untuk operasional kejahatan seperti judi online”.
Patut diduga, PPATK ceroboh. Tanpa didukung data dan informasi yang cukup, mereka secara serampangan menuduh semua pemilik rekening dormant sebagai pelaku kejahatan.
Publik yang waras tentu saja tidak bisa menerima begitu saja klaim sepihak PPATK. Setelah muncul reaksi berbagai pihak, secara diam-diam pula PPATK mengoreksi kebijakan sembrono mereka. Sebanyak 28 juta rekening. — yang sempat diblokir — diaktifkan kembali.
Kebijakan pelonggaran terhadap pemblokiran rekening dormant milik masyarakat sipil ini sepatutnya tidak boleh langsung disambut dengan pujian. Itu bukanlah bukti dari membaiknya tata kelola intelijen keuangan, melainkan lebih tepat dibaca sebagai koreksi diam-diam terhadap pendekatan yang selama ini bermasalah.
Harus diberi catatan dengan tinta tebal, bahwa kebijakan ceroboh PPATK secara tidak langsung telah mendegradasi kesadaran masyarakat untuk menabung. Ini tidak sepele.
Negara, melalui lembaga seperti PPATK tampaknya pernah—dan mungkin masih—mengadopsi logika pengawasan yang keliru: menyamakan rekening pasif dengan indikasi kejahatan keuangan.
Selama ini, publik hidup dalam sistem pengawasan finansial yang berpijak pada kecurigaan sistemik. Prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi dasar intelijen keuangan telah tergeser oleh semacam paranoia institusional. Sangat mungkin, rekening yang diblokir justru milik warga yang tengah menghadapi kondisi kritis—misalnya sakit berat—dan sedang menyimpan dana untuk kebutuhan medis, pendidikan, atau keperluan jangka panjang lainnya. Dalam konteks ini, kebijakan yang dijalankan tampak abai terhadap kenyataan sosial dan kompleksitas perilaku ekonomi masyarakat.
Lebih jauh, negara seperti mewajibkan warganya untuk terus melakukan transaksi harian agar terbebas dari kecurigaan sebagai penyimpan “uang haram.” Pendekatan ini bukan hanya tidak proporsional, tapi juga menciptakan ketidakadilan struktural. Ia mencerminkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap pola hidup finansial masyarakat yang sangat beragam.
Yang lebih mengkhawatirkan, jika pemblokiran dilakukan secara semena-mena, hal itu justru melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Padahal, menyimpan uang di bank adalah bentuk kepercayaan tertinggi masyarakat terhadap sistem keuangan formal. Bila rekening nasabah bisa diblokir hanya karena tidak aktif, dan tanpa kejelasan prosedur, maka pesan yang ditangkap publik justru sebaliknya: sistem perbankan tidak aman.
Kebijakan negara dalam menangani isu pencucian uang atau transaksi ilegal—termasuk dari aktivitas judi online—perlu dilakukan secara profesional, selektif, dan berbasis risiko yang terukur. Jangan sampai pendekatan yang bersifat sweeping malah mendorong masyarakat menarik diri dari sistem perbankan dan kembali ke praktik penyimpanan uang yang tidak aman dan tidak terpantau.
Di luar itu, PPATK juga harus diberikan pelajaran dari cara kerja mereka yang sewenang-wenang dengan menjustifikasi semua nasabah sebagai penjahat. Pemilik rekening yang diklaim dormant pantas melakukan class action terhadap PPATK.
PPATK (pemerintah) sebagai pemegang otoritas yang diberikan oleh rakyat melalui proses politik tidak boleh sewenang-wenang dan cenderung menzalimi pemberi otoritas. Itu pengkhianatan.[]
Dr. Usman Lamreung, M.Si adalah akademisi dan pengamat kebijakan publik berdomisili di Banda Aceh