KabarAktual.id – Tekad Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Aceh, Marthunis, ingin memacu laju pembangunan pendidikan diapresiasi masyarakat. Pelaksanaan UKG dan Simulasi UTBK 2025, dinilai, merupakan indikasi itikad baik untuk mewujudkan Aceh sebagai provinsi terbaik dalam bidang pendidikan.
Mengutip laman disdik.acehprov.go.id, 23 Desember 2024, Kadisdik Marthunis mengungkapkan ambisi besar agar Aceh masuk 10 besar nasional dalam kualitas pendidikan pada tahun 2027. Target ini menjadi prioritas besar, kata dia, mengingat Aceh pernah menempati posisi 10 besar pada masa lalu.
Meski demikian, Lembaga Advokasi dan Studi Kebijakan Pendidikan (LASKaP) memberi sejumlah catatan. Ada titik-titik krusial yang harus benar-benar dipahami sebelum melangkah lebih jauh.
Direktur Eksekutif LASKaP, Rahmad Ardiansyah, menegaskan bahwa fokus pencapaian UTBK tidak akan mencerminkan kualitas dan daya saing siswa secara menyeluruh. Capaian pendidikan, justeru, harus dilihat secara utuh dan komprehensif, tidak parsial.
“Pak Kadis jangan sampai terjebak dalam pragmatisme demi mengejar ketertinggalan daya saing siswa Aceh pada Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang menjadi acuan kelulusan di PTN favorit”, ujarnya kepada KabarAktual.id, Rabu (29/1/2025).
Rahmad menambahkan, UTBK yang menitikberatkan pada penalaran literasi dan numerasi baru satu aspek saja. Belum komprehensif.
Dan, harus dicerimati, lanjutnya, bahwa umumnya kelulusan terbanyak di Aceh berasal dari sekolah unggulan seperti SMA Modal Bangsa (Mosa) dan SMA Fajar Harapan (Farhan). Kenapa dari sekolah unggul ini lebih dominan, Rahmad menguraikannya secara terinci.
Pertama, karena para siswanya memang dari segi input sejak kelas X sudah terseleksi. “Siswa-siswinya memang punya potensi dengan rata-rata nilai rapor saat masih SMP berada di atas, dan mereka sudah diambil dari sekolah sejak semester 5,” ujarnya.
Kedua, lanjut Rahmad, sekolah unggul mendorong siswanya mengikuti bimbingan belajar. Pihak sekolah bekerja sama dengan bimbel-bimbel ternama di Indonesia. “Di Mosa, bahkan lebih dari setengah siswanya mengikuti salah satu bimbel terkenal di Indonesia,” paparnya.
Rahmad menjelaskan, metode pembelajaran di bimbel dengan di sekolah berbeda. Mereka berfokus pada hasil, makanya garapannya ada di upaya mencapai skor di atas passing grade, dan itu ada metodenya.
Sementara pembelajaran di sekolah, kata dia, berfokus pada proses, menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Prosesnya panjang dan memang harus berproses, tidak instan. “Memang kalau targetnya sebatas bisa lulus di PTN favorit, mungkin itu solutif. Kalau membangun kompetensi siswa secara alamiah dan mental kepribadian sesuai tujuan pendidikan, maka itu jauh dari yang kita harapkan. Pak kadis pilih yang mana?” tanya Rahmad.
Lembaga ini mengingatkan, ada aspek yang lebih krusial yang selama ini luput dari dari kebijakan pendidikan. Karena elit lebih mengejar prestise seperli kelulusan top 10 yang digembar-gemborkan Kadisdik.
Dikatakan, Disdik Aceh belum cukup adil dan komprehensif dalam menyusun kebijakan pendidikan hingga sejauh ini. Mereka sangat mengutamakan sekolah-sekolah elit dan terkesan menganaktirikan anak-anak yang di pelosok.
Kesenjangan berbagai variabel pendidikan, seperti sarana/prasarana, rasio guru, dan faktor penunjang lainnya masih sangat lebar antara sekolah di kota dengan pedesaan. “Mutu lulusan harus diseimbangkan di 23 kabupaten/kota. Jangan hanya fokus pada siswa sekolah unggul saja,” sambungnya.
Kata Rahmad lagi, intervensi yang penting justru kepada siswa yang akreditasi sekolahnya masih rendah dan yang berada di luar kawasan kota. “Kalau Mosa, Farhan, FATIH, SUKMA BANGSA, SMA 3 Banda Aceh, SMA Wira Bangsa Meulaboh, tanpa intervensi Dinas pun mereka memang sudah unggul dan sangat potensial menembus UTBK,” tambahnya.
LASKaP menyatakan sangat berkeinginan untuk melakukan sharing terkait permasalahan pendidikan, baik dengan Disdik maupun DPR Aceh. Itu pun, kata dia, sepanjang kedua lembaga ini merasa membutuhkan masukan dari pihak luar.[]