KabarAktual.id – Pemerintah Aceh akan memberlakukan kebijakan baru dalam membayar insentif guru berbasis hasil Asesmen Kompetensi Guru (AKG). Kebijakan itu, dinilai, mereduksi peran guru sebagai pendidik karena hanya melihat aspek kognitif saja.
Menurut informasi yang diperoleh KPIPA (Kaukus Peduli Integritas Pendidikan) Aceh, Pemerintah Aceh menetapkan nilai antara Rp 300.000 untuk level paling rendah dan Rp 800.000 untuk level tertinggi. Kebijakan ini secara normatif dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas dan profesionalitas guru, seiring dengan tuntutan perbaikan mutu pendidikan.
Pada prinsipnya, mereka pun sepakat dengan kebijakan proporsionalisasi insentif bagi ASN. “Namun dalam pelaksanaannya, pendekatan ini tentu perlu dikritisi,” ujar Jubir KPIPA Ramadhan Al Faruq dalam pernyataan tertulis, Senin (14/4/2025).
Menurut pengurus KPIPA, pelaksanaan tugas guru tidak bisa dilihat secara sempit dengan hanya menilai aspek kognitif seperti menghitung ongkos kuli bangunan. Selain hasil AKG, ada beberapa aspek lain yang kiranya patut diperhatikan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan demi menjamin keadilan dan efektivitas kebijakan publik.
Menjadikan hasil AKG sebagai satu-satunya penentu besaran insentif, kata dia, justru terkesan mereduksi kompleksitas peran guru menjadi sekadar angka (hasil) AKG semata. Padahal dalam praktiknya, kompetensi seorang guru tidak cukup diukur melalui tes tertulis semata.
Dikatakan, ada dimensi lain yang jauh lebih penting yang seharusnya juga harus dijadikan sebagai tolak ukur seperti kualitas interaksi dengan siswa misalnya, kemampuan membina, dan kepedulian terhadap pembinaan karakter siswa, peran sosial di sekolah, serta daya juang di lapangan, terutama di daerah terpencil.
Selain itu kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan ketimpangan baru dalam tubuh dunia pendidikan Aceh. Guru-guru yang dikarenakan keterbatasan fasilitas, akses pelatihan, dan teknologi berisiko memperoleh skor AKG lebih rendah ketimbang mereka yang terfalistasi dengan segala kemudahannya. Padahal kompleksitas dan kerja keras mereka yang mendapat nilai AKG rendah justru sangat mungkin jauh di atas mereka yang mendapat nilai AKG tinggi.
Hal ini, menurut KPIPA, tentu tidak adil dan tidak mencerminkan realitas kerja keras mereka. Selain itu, kebijakan tersebut juga berpotensi menimbulkan demotivasi yang tidak diinginkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Yang lebih mengkhawatirkan, belum terlihat adanya skema pembinaan lanjutan bagi para guru yang meraih skor AKG rendah. Dalam penilaian KPIPA, seharusnya, hal ini menjadi prioritas dan langkah pertama untuk memperbaiki kualitas dan kinerja guru, pembimbingan yang sistematis, coaching berkelanjutan, atau pelatihan berbasis praktik yang bisa membantu mereka naik kelas. “Tanpa itu semua, kebijakan ini lebih condong kepada pola penghukuman daripada penguatan kapasitas,” demikian kesimpulan mereka.
Lebih dari itu, dari sisi insentif, rentang selisih sebesar Rp 500.000 antara level terendah dan tertinggi juga dinilai terlalu kecil untuk memicu perubahan perilaku secara masif. Dalam kondisi beban kerja guru yang tinggi dan tantangan yang terus berkembang, nilai tersebut tidak cukup menjadi faktor penggerak signifikan, terlebih jika tidak dibarengi dengan dukungan profesional yang memadai.
Mereka menilai, Pemerintah Aceh perlu merevisi pendekatan kebijakan ini dengan melihat permasalahan secara lebih holistik dan manusiawi. Harus ada kesadaran bahwa upaya peningkatan kompetensi guru tidak bisa dilepaskan dari ekosistem yang mendukung pelatihan kontekstual dan berkelanjutan, pemerataan akses terhadap teknologi dan literatur pendidikan, serta keterlibatan aktif kepala sekolah dan pengawas sebagai pemimpin pembelajaran, bukan hanya administrator.
Selain itu, sambungnya, insentif seyogianya diberikan berdasarkan indikator yang lebih beragam. Penilaian kinerja sebaiknya mencakup hasil supervisi kepala sekolah, partisipasi dalam forum peningkatan mutu seperti MGMP, hingga kontribusi sosial di sekolah. Lebih jauh, insentif tambahan perlu diberikan kepada guru yang mengabdi di wilayah terpencil atau berisiko tinggi sebagai bentuk keberpihakan dan penghargaan atas perjuangan mereka.
Mereka mengingatkan, bahwa pendidikan yang maju tidak dibangun dari kompetisi angka, melainkan dari kolaborasi, dukungan sistemik, dan penghormatan terhadap kerja nyata para guru. “Jika Pemerintah Aceh serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan, maka fokus utamanya harus beralih dari mengejar skor menuju membangun ekosistem yang adil, progresif, dan berkelanjutan,” demikian KPIPA.[]