Opini  

Sesat Pikir Memahami Pokir

Ilustrasi (foto: repro)

KEDUDUKAN program pokok pikiran (Pokir) atau disebut juga dana aspirasi anggota DPR memang konstitusional sifatnya. Dibenarkan oleh undang-undang. Bahkan, substansi pokir sangat mulia kedengarannya.

Secara konseptual, pokir atau dana aspirasi adalah sebuah mekanisme konkret dari salah satu fungsi dan keberadaan anggota Dewan di tengah-tengah masyarakat. Pokir adalah tentang bagaimana mereka melaksanakan fungsi budgeting, bukan mem-budget-kan fungsi legislatifnya. Artinya, kekuasaan yang ada pada diri mereka digunakan secara benar untuk membantu menjawab permasalahan publik dengan menggunakan “senjata” yang disebut program aspirasi.

Dulu, jika ada permasalahan pembangunan tapi tidak tersentuh oleh tangan kekuasaan, kendala itu diselesaikan oleh intervensi dana aspirasi. Misalnya, ketika ada jembatan rusak atau kebutuhan sarana pendidikan, anggota Dewan tampil di depan untuk menyuarakannya. Melalui saluran-saluran formal pula, seperti Musrenbang, aspirasi itu disampaikan. Setelah itu muncullah menjadi program atau kegiatan di berbagai instansi pemerintah.

Sampai di situ implementasi dana aspirasi masih berjalan sesuai fungsi masing-masing. Dewan dengan tiga fungsinya (legislasi, budgeting, dan pengawasan), di pihak lain, eksekutif sesuai namanya melakukan eksekusi terhadap program-program yang telah menjadi aspirasi masyarakat yang disampaikan anggota Dewan melalui Musrenbang tadi.

Tapi, praktek pelaksanaan Pokir sekarang sudah dipelintir secara berjamaah. Sudah terbangun pemahaman sesat diantara mereka para anggota Dewan di semua jenjang. Dan, cacat pikir itu terus diwariskan secara terstruktur, turun-temurun. Sehingga, secara terbuka dan tanpa rasa malu, para caleg mengimajinasikan pokir sebagai target income ketika kelak duduk di lembaga legislatif. 

Untuk menjelaskan hal ini secara lebih konkret, sangat tidak sulit. Cukup dengan mengamati sepak terjang para koordinator lapangan (korlap) yang menjadi orang kepercayaan para pemilik pokir.

Bagaimana mereka memenej proyek-proyek PL atau mengatur tender di ULP. Para korlap bisa diandalkan sebagai informan yang akan memberi keterangan komprehensif. Tentu saja untuk kepentingan mendudukkan permasalahan ini ke arah yang benar, bukan malah berbalik, mengolah kesempatan untuk kemudian mencari cara agar menjadi bagian dari penikmat pokir.

Pengelolaan pokir, belakangan, memang tergolong sudah sangat kebablasan. Bahkan boleh disebut kurang ajar. Ada pos tertentu yang fee-nya mencapai 50%. Lebih brutal lagi, ada yang minta uang di muka. 

Tentu menjadi pertanyaan, kenapa penyimpangan yang jelas-jelas menguras uang rakyat ini tidak terendus oleh pihak pemeriksa atau penegak hukum? Jawabannya, ada dua kemungkinan. Pertama, mereka (penegak hukum atau auditor) belum sampai pemahamannya untuk menemukan pelanggaran pada pengelolaan pokir. Karena, memang tidak ada nomenklatur anggaran yang bertuliskan pokir di dalam dokumen anggaran. Kedua, yang menjadi obyek pemeriksaan hingga sejauh ini adalah output.

Yang diperiksa hanya hasil pekerjaan. Kalau pengadaan barang, tersedia barang dalam jumlah dan spek yang sesuai dengan kontrak. Hanya sebatas itu. Sepanjang tidak ditemukan fiktif, maka tidak ada pelanggaran.

Para auditor dengan segala keterbatasan ilmunya tidak akan sanggup mengendus di mana titik penyimpangan dana pokir. Mereka tidak bakalan menemukan persekongkolan jahat pemilik pokir dengan rekanan yang sebagian besar adalah bagian dari mereka sendiri.   

Auditor-auditor muda yang baru meninggalkan bangku kuliah tidak cukup pengetahuan untuk menemukan berbagai praktek pelanggaran yang dilakoni oleh mereka yang sudah sangat profesional. Para pemilik pokir ibarat tikus-tikus senior, sedangkan para auditor muda adalah anak-anak kucing lucu yang justeru menjadi mainan mereka.

Pokir, sekarang, sudah menjadi obyek banjakan anggaran. Pemahaman dan perlakuan oknum-oknum anggota Dewan sudah sangat melenceng. Mereka memanfaatkan alasan konstitusi untuk membajak anggaran untuk kepentingan pribadi dan partainya masing-masing. 

Mereka tidak lagi menjalankan fungsi budgetting secara benar. Bahkan, mereka memposisikan diri sebagai pengelola anggaran pula dengan memanfaatkan secara keliru tugas budgeting yang dimiliki.

Oknum-oknum anggota Dewan bukan memperjuangkan dana sesuai aspirasi yang diterima di lapangan melalui reses atau kunjungan ke dapil, tapi sudah main jatah-jatahan. Sehingga, banyak yang kebingungan ketika sudah dapat alokasi jatah dana pokir tidak tahu harus menghabiskannya untuk kegiatan apa? Maka muncullah macam-macam, kegiatan remeh-temeh. Sampai pengadaan sofa sebuah Dinas pun menjadi urusan anggota Dewan, juga studi banding guru atau biaya publikasi sebuah instansi.

Apakah kegiatan-kegiatan rutin sebuah instansi pemerintah juga harus di-pokir-kan? Lalu, untuk apa dana reses jika berbagai kegiatan instansi pemerintah sekarang beralih menjadi tugas anggota Dewan?

Di situlah bukti, bahwa pokir tidak lagi berada di jalur yang benar. Pos ini sudah menjadi ajang bagi-bagi anggaran, tidak lagi memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Jika karena alasan itu, maka sangat wajar ketika pihak eksekuitif menolak menghadiri rapat Dewan. Karena ujung-ujungnya, eksekutif akan disandera dan “ditodong” agar menyetujui konsep bagi-bagi jatah yang akan disodorkan dalam pertemuan tersebut. Mungkin karena eksekutif tidak mau larut dalam arus sesat pikir memahami pokir. Wallahu ‘alam.[]

  • Anggota Dewan Redaksi KabarAktual.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *