TAHUN 2025 seharusnya menjadi momentum refleksi pembangunan bagi Aceh. Namun kenyataannya, akhir tahun ini ditutup dengan kecemasan. Kerusakan lingkungan semakin nyata, sementara kebijakan masih bergerak lambat.
Sepanjang 2025, Aceh kembali dilanda banjir besar dan longsor, melanda setidaknya 18 kabupaten/kota. Curah hujan ekstrem yang dipicu perubahan iklim dan fenomena siklon tropis menjadi pemicu, namun dampak kerusakan diperparah oleh kondisi hutan dan daerah aliran sungai (DAS) yang telah lama terdegradasi.
Frekuensi dan dampak bencana meningkat: ribuan rumah terendam, infrastruktur rusak, lahan pertanian hancur, aktivitas ekonomi lumpuh. Bencana bukan lagi kejadian musiman, tetapi ancaman struktural akibat pilihan pembangunan yang tidak mempertimbangkan daya dukung alam.
Baca juga: Ada Logo Pemerintah di Kayu Gelondongan yang Dibawa Banjir Sumbar, Kemenhut Terlibat Rambah Hutan?
Deforestasi, Luka yang tak Kunjung Sembuh
Aceh pernah dikenal sebagai provinsi dengan hutan terluas di Sumatra. Namun tren kehilangan hutan terus mengkhawatirkan. Hingga 2024, Aceh kehilangan lebih dari 10 ribu hektare hutan dalam satu tahun. Dalam tujuh tahun terakhir, kerusakan mencapai ratusan ribu hektare.
Penyebabnya beragam: pembukaan lahan perkebunan, pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur. Sebagian bahkan terjadi di kawasan lindung dan hulu DAS. Kehilangan hutan berarti hilangnya penyangga air, rusaknya habitat satwa, meningkatnya emisi karbon, serta bertambahnya risiko banjir dan longsor bagi masyarakat.
Masalah tata kelola menjadi akar persoalan. Pada 2025 ditemukan sejumlah aktivitas ilegal dan perizinan bermasalah mulai dari kebun tanpa izin, tambang yang beroperasi di zona sensitif, hingga perusahaan yang mengabaikan kewajiban pemulihan lingkungan.
Baca juga: VIDEO: Para Penyintas Longsor dari Bener Meriah
Audit terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan memang sudah dilakukan, namun audit saja tidak cukup. Tanpa sanksi tegas dan transparan, pelanggaran akan terus terulang. Banyak pelaku hanya berganti nama perusahaan, sementara kerusakan tetap berjalan.
Kerusakan lingkungan paling berat dirasakan oleh kelompok rentan: petani, nelayan, perempuan, dan anak-anak. Sawah terendam, hasil tangkapan ikan menurun akibat sedimentasi, air bersih semakin langka, penyakit berbasis lingkungan meningkat. Krisis ekologis perlahan berubah menjadi krisis pangan dan kesehatan.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, biaya sosial dan ekonomi yang harus dibayar akan jauh lebih besar dibanding keuntungan jangka pendek dari eksploitasi alam.
Saatnya Memilih Arah Kebijakan
Akhir 2025 harus menjadi titik balik. Pemerintah tidak boleh hanya hadir ketika bencana terjadi. Pencegahan harus menjadi fokus utama.
Beberapa langkah mendesak:
- Moratorium izin baru di hutan dan DAS kritis.
- Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perusakan.
- Pemulihan ekosistem dan hutan secara sistematis.
- Pelibatan masyarakat adat dan lokal sebagai penjaga hutan.
- Transparansi data lingkungan dan proses perizinan.
- Kebijakan tidak cukup hanya dikonsep, tetapi harus dijalankan dengan keberanian politik.
Penutup
Lingkungan bukan isu pinggiran. Ia adalah fondasi ekonomi, sosial, dan kehidupan Aceh. Jika hutan terus hilang dan sungai terus rusak, maka bencana demi bencana hanyalah soal waktu.
Akhir tahun ini adalah peringatan keras. Aceh bukan kekurangan sumber daya alam, melainkan kurang keberanian untuk menjaganya.
Pilihan kini ada di tangan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Melanjutkan pola lama berarti mewariskan krisis. Mengubah arah berarti menyelamatkan masa depan Aceh.[]
Penulis; adalah dosen Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah/Senior Advisor-Liaison Specialist Yayasan Ekosistem Lestari












