KabarAktual.id – Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh, Dr. Taufiq Abd Rahim, mempertanyakan kinerja dan peran strategis Dewan Ekonomi Aceh (DEA) di tengah krisis ekonomi dan dampak bencana besar yang masih melanda Aceh. Lembaga itu belum menunjukkan kerja kelembagaan yang nyata.
Taufiq menegaskan, bantuan-bantuan personal atau klaim individu yang dikaitkan dengan anggota DEA tidak dapat disimpulkan sebagai kebijakan lembaga. Itu, kata dia, bukan representasi DEA. Bantuan personal hanyalah aksi individu, bukan hasil rumusan kelembagaan. “Tidak bisa dijadikan indikator kinerja, apalagi tanpa akuntabilitas publik,” ujarnya kepada KabarAktual.id, Jumat (26/12/2025).
Dia menjelaskan, DEA dibentuk beberapa waktu lalu melalui surat keputusan resmi pemerintah Aceh, dengan tujuan menjadi pusat nalar ekonomi dan rujukan kebijakan pembangunan. Namun, Taufiq menilai publik tidak mengetahui sejauh mana lembaga tersebut bekerja.
Baca juga: Menggugat Peran Dewan Ekonomi yang Tidur Panjang Saat Bencana Aceh
Ia kemudian mempertanyakannya, apakah DEA sudah menyusun blueprint pembangunan ekonomi Aceh? “Apakah sudah ada pembaruan dokumen itu setelah Aceh dilanda banjir bandang dan longsor yang memukul sektor ekonomi rakyat? Kalau belum, maka apa sebenarnya yang sedang dikerjakan?” katanya.
Ia mengingatkan bahwa DEA bukan lembaga seremonial. “Gunanya direkrut orang-orang hebat untuk duduk di sana bukan agar terlihat gagah, tapi untuk memberi solusi. Aceh butuh arah, bukan papan nama,” tegasnya.
Bencana Besar, Respon tak Terdengar
Banjir bandang pada 26 November 2025 yang melanda wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menurut Taufiq, telah merusak tatanan ekonomi rakyat. Rumah, tanah, pekerjaan, hingga akses dasar seperti listrik, air bersih, dan telekomunikasi lumpuh.
Di tengah krisis tersebut, ia menyebut tidak terdengar dorongan kebijakan dari DEA yang berorientasi pemulihan ekonomi. “Rakyat menderita, harga barang melonjak, akses logistik tersendat, namun kita tidak melihat ide, rencana, ataupun strategi dari DEA untuk menstabilkan kondisi ini,” katanya.
Karena aksi diamnya, Taufiq mengibaratkan keberadaan DEA saat ini seperti nama yang hanya tertera tanpa fungsi. “Jangan sampai ia hanya menjadi seonggok batu nisan. Ada namanya, tetapi mati perannya,” ujarnya.
Baca juga: Demokrasi di Persimpangan: Tatkala Idealisme Mati, Pragmatisme Jadi Raja
Menurut pengamat kebijakan dan pemerintahan ini, masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban. “Jika ada yang mempersoalkan kinerja DEA, itu bukan protes sembarangan. Itu pertanyaan wajar: apa hasil kerja teknis, teoretis, dan kebijakan yang mereka lahirkan?” lanjutnya.
Menutup pernyataannya, Taufiq menegaskan bahwa Aceh tidak boleh terus berharap pada diam. “Diam bukan emas dalam konteks ekonomi. Yang dibutuhkan rakyat adalah kerja, bukan status,” ucapnya.[]












