Tak Punya Tongkat Nabi tapi Sok Gengsi?

BANJIR dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan sekadar deretan peristiwa alam. Di sana ada ujian kepemimpinan negara.

Hingga hari ini, bencana tersebut belum ditetapkan sebagai bencana nasional, meski dampaknya meluas lintas provinsi, menelan korban jiwa, melumpuhkan infrastruktur, serta memaksa puluhan ribu warga hidup di pengungsian. Mereka menghadapi keterbatasan pangan, air bersih, dan layanan kesehatan.

Di sejumlah lokasi terdampak, bantuan belum merata. Masih ada warga yang kesulitan memperoleh makanan layak, obat-obatan, dan air bersih. Fakta ini bukan sekadar laporan lapangan, melainkan cermin bahwa kapasitas penanganan darurat belum sepenuhnya menjangkau mereka yang paling rentan.

Ironisnya, di tengah situasi tersebut, negara justru terkesan ragu mengambil langkah politik paling mendasar: menetapkan bencana nasional dan membuka ruang bantuan seluas-luasnya, termasuk dari komunitas internasional dan diaspora. Alih-alih mempercepat respons, yang muncul justru sikap defensif dengan dalih “negara mampu mengatasi”.

Baca juga: Prabowo Sebut tak Punya “Tongkat Nabi Musa”, Warga Terdampak Banjir Sumatra Diminta Bersabar

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa dirinya tidak memiliki “tongkat Nabi Musa” untuk menyelesaikan seluruh persoalan bangsa memang bisa dibaca sebagai ungkapan kerendahan hati. Namun bagi korban bencana, khususnya di Aceh, kalimat itu terdengar berbeda. Ia terasa sebagai pengakuan keterbatasan yang tidak diiringi terobosan kebijakan.

Aceh—dan Sumatra pada umumnya—tidak sedang meminta mukjizat. Rakyat tidak menuntut laut terbelah atau banjir surut secara ajaib. Yang dibutuhkan adalah keputusan administratif dan politik yang tegas: penetapan status bencana nasional, instruksi yang memotong birokrasi, serta keberanian membuka pintu bantuan kemanusiaan tanpa prasangka berlebihan.

Faktanya, Presiden telah beberapa kali mengunjungi wilayah terdampak. Kunjungan itu sarat simbol empati dan kepedulian. Namun empati tanpa keputusan hanya akan berakhir sebagai penghiburan sementara. Di balik foto dan pernyataan simpatik, kebijakan konkret yang mengikat dan mempercepat pemulihan justru belum terlihat.

Masalah menjadi lebih serius ketika pengakuan “tidak punya tongkat Nabi Musa” beriringan dengan kenyataan bahwa bantuan dari luar negeri dan solidaritas global justru dipersulit oleh regulasi berlapis, prosedur kepabeanan yang kaku, serta ego sektoral antarinstansi. Jika pemerintah pusat merasa kapasitasnya terbatas, logika kemanusiaan seharusnya mendorong pembukaan pintu, bukan penambahan gembok.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara tegas menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama, bahkan di atas prosedur administratif. Namun tanpa Keputusan atau Instruksi Presiden yang jelas, aparat di lapangan cenderung memilih jalan aman: patuh pada birokrasi, meski rakyat menunggu dalam penderitaan.

Di sinilah persoalan kepemimpinan substantif diuji. Presiden memang tidak memiliki tongkat kenabian, tetapi ia punya kewenangan konstitusional untuk memotong prosedur, menginstruksikan kementerian dan lembaga, membuka jalur bantuan internasional, serta menjamin kepastian rehabilitasi dan rekonstruksi. Ketika kewenangan itu tidak digunakan secara maksimal, maka pernyataan tentang “ketiadaan tongkat” mudah dibaca sebagai pembenaran atas ketiadaan keputusan.

Bagi rakyat Aceh, kalimat tersebut bukan sekadar metafora. Ia melukai, karena di tengah kehilangan rumah, keluarga, dan mata pencaharian, yang terdengar dari pucuk kekuasaan justru pengakuan keterbatasan, bukan kepastian tindakan.

Padahal Aceh memiliki sejarah panjang solidaritas global. Dunia pernah datang membantu Aceh tanpa diminta, tanpa dipersulit, tanpa kecurigaan berlebihan. Solidaritas itu terbukti menyelamatkan nyawa dan mempercepat pemulihan. Kini, ketika uluran tangan serupa kembali hadir, negara justru tampak ragu dan menjaga jarak atas nama harga diri dan kemandirian.

Harga diri negara tidak diukur dari kemampuan menolak bantuan, melainkan dari keberanian menyelamatkan warganya dengan segala cara yang sah dan bermartabat. Menutup pintu bantuan di tengah darurat justru berisiko menempatkan negara pada posisi abai terhadap penderitaan rakyatnya sendiri.

Di titik ini, suara warga sipil yang menyerukan penetapan bencana nasional—termasuk melalui kampanye “Save Sumatera”—tidak bisa dipandang sebagai agitasi, melainkan sebagai ekspresi tanggung jawab moral. Dalam tradisi etika dan keagamaan, mengingatkan penguasa ketika terjadi kemungkaran adalah bagian dari iman dan kewargaan.

DPR RI, khususnya wakil rakyat dari daerah terdampak, juga tidak memiliki alasan untuk diam. Diam berarti ikut membiarkan kebijakan setengah hati terus berlangsung. Mereka harus mendorong pemerintah pusat mengambil keputusan tegas, bukan sekadar hadir dalam seremoni.

Rakyat Aceh dan Sumatra tidak membutuhkan pemimpin yang hanya pandai merangkul duka. Mereka membutuhkan negara yang berani bertindak, meski harus mengambil risiko politik. Tanpa itu, kunjungan demi kunjungan akan menjadi ritual kosong, dan pernyataan tentang “tongkat Nabi Musa” akan tercatat sebagai simbol kegagalan negara memahami rasa sakit rakyatnya sendiri.

Tanpa tongkat nabi, negara tetap wajib bertindak. Sebab kemanusiaan tidak menunggu mukjizat. Ia menunggu keputusan.[]

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *