SUDAH lebih dari 10 hari banjir dan longsor melanda Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatra Utara Sumatra Barat. Bencana ini menerjang sedikitnya 18 kabupaten/kota, merendam ribuan rumah warga, merusak fasilitas umum, memutus akses jalan utama, serta melumpuhkan jembatan penghubung antardesa dan kecamatan di Aceh.
Berdasarkan laporan sementara dari BPBD kabupaten/kota dan relawan lapangan, bencana ini menyebabkan puluhan korban jiwa, sementara ribuan warga terpaksa mengungsi. Tidak kurang dari belasan ribu rumah warga terendam atau rusak, ratusan hektare lahan pertanian gagal panen, serta puluhan kilometer jalan dan puluhan jembatan mengalami kerusakan berat hingga tidak dapat dilalui. Sejumlah daerah bahkan hingga kini masih terisolasi akibat tertimbun longsor dan terputusnya akses logistik.
Tekanan bencana yang massif itu membuat tujuh bupati secara terbuka menyatakan angkat tangan, mengaku tidak sanggup menanggulangi dampak bencana secara mandiri dan meminta intervensi penuh pemerintah pusat. Sikap tersebut mempertegas satu fakta: kapasitas daerah dalam menghadapi bencana berskala besar sangat terbatas, sebuah kondisi yang sejalan dengan aspirasi masyarakat agar pemerintah pusat segera menetapkan bencana Aceh sebagai bencana nasional, sehingga dukungan sumber daya dapat dikerahkan secara maksimal.
Namun, suasana duka ini justru diperburuk oleh sikap nirsimpati sebagian elit dan oknum masyarakat. Di saat warga berjuang menyelamatkan diri dari terjangan air bah, ada kepala daerah yang meninggalkan wilayah tugasnya. Di saat para pengungsi kekurangan makanan dan logistik, muncul pedagang tidak bertanggung jawab menaikkan harga sembako secara tak masuk akal.
Itulah potret Aceh hari-hari ini. Potret penderitaan rakyat berhadapan dengan perilaku kepemimpinan yang timpang.
Dalam situasi krisis, yang dibutuhkan bukan selebrasi pencitraan, melainkan kehadiran pemimpin yang bekerja secara ikhlas dan nyata di tengah rakyat.
Baca juga: Sambil Menangis, Bupati Aceh Utara Menyatakan tak Sanggup Tangani Bencana
Di antara sedikit sosok yang tampil berbeda adalah Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem). Mantan Panglima GAM itu turun langsung ke banyak lokasi terdampak, meninjau pengungsian, menemui korban, menggerakkan distribusi bantuan, dan memotong jalur birokrasi demi percepatan penanganan.
Langkah tersebut menunjukkan bahwa kehadiran pemimpin di tengah musibah bukan sekadar simbol, melainkan penguat moral bagi rakyat yang tengah dilanda keputusasaan.
Di tingkat kabupaten/kota, kinerja kepala daerah terlihat kontras. Sejumlah bupati mendapat apresiasi, khususnya di Bireuen dan Aceh Timur. Dengan segala keterbatasan anggaran dan sarana, keduanya bergerak cepat membuka posko darurat, turun langsung ke lokasi terdampak, dan memastikan distribusi bantuan berjalan. Respons itu membuktikan bahwa kepemimpinan dalam krisis lebih ditentukan oleh keberanian bertindak, bukan semata kelengkapan fasilitas.
Sebaliknya, potret miris terlihat di daerah lain. Wali Kota Langsa disorot publik karena berada di luar daerah saat banjir melanda, di saat warganya berjibaku menghadapi situasi darurat.
Bupati Aceh Utara pun menuai kritik keras akibat lamban bergerak dan terlihat gamang menentukan langkah. Keterbatasan akses menuju wilayah terdampak, minimnya koordinasi birokrasi, serta buruknya pelayanan korban menunjukkan kegagapan kepemimpinan yang nyata. Pada akhirnya ia memilih “mengangkat bendera putih” dengan menyatakan membutuhkan full bantuan pemerintah pusat. Pernyataan tersebut bahkan memaksa jajaran provinsi mengingatkan seluruh kepala daerah untuk serius bekerja, bukan sekadar mengeluh. Jika tidak sanggup memimpin di masa krisis, mundur adalah pilihan terhormat.
Fakta-fakta ini mengungkap sisi lemah manajemen kebencanaan di daerah: evakuasi lamban, koordinasi minim, dan pelayanan dasar tidak optimal. Sementara ribuan warga menunggu pertolongan, sebagian kepala daerah justru terlihat tak berdaya menggerakkan birokrasi yang mereka pimpin.
Di tingkat pusat, kritik pun menguat. Hingga kini pemerintah belum menetapkan banjir dan longsor di Aceh sebagai bencana nasional, bahkan menolak dukungan internasional dengan dalih masih mampu menangani sendiri. Sikap tersebut terasa kontras dengan kondisi lapangan, ketika akses warga terputus, pengungsi kekurangan logistik, dan kemampuan daerah telah mencapai titik maksimum.
Lebih memprihatinkan lagi, sejumlah elit politik dan menteri justru sibuk berdebat soal kayu gelondongan dan saling melempar tanggung jawab kerusakan lingkungan. Pernyataan Kepala BNPB tentang “bencana yang mencekam di media sosial” serta silang pendapat para pejabat menunjukkan jarak empati terhadap penderitaan riil masyarakat.
Padahal, banjir dan longsor ini bukan sekadar musibah alam, melainkan juga konsekuensi tata kelola hutan yang buruk, perizinan yang longgar, dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan lingkungan. Ketika akar persoalan tak diselesaikan, rakyat selalu menjadi korban berulang.
Pertikaian elite di pusat dan kegagapan kepemimpinan sebagian daerah memperlihatkan satu kenyataan keras. Saat para pemangku kebijakan sibuk saling menyalahkan, rakyat dibiarkan berjuang sendiri menyelamatkan nyawa dan keluarganya.
Inilah ironi bencana di Aceh. Air bah menggulung rumah-rumah warga, sementara sebagian pemimpin tenggelam dalam perdebatan, bukan dalam kerja nyata yang menyelamatkan kehidupan.[]
Penulis, akademisi dan pengamat kebijakan publik berdomisili di Banda Aceh












