Peringkat 31, Akhir Drama Pencitraan Pendidikan Aceh

SECARA nasional, hasil TKA (Tes Kemampuan Akademik) siswa SMA tahun 2025 memang memprihatinkan. Merosotnya mutu, diyakini sebagian pihak, merupakan salah satu akibat tidak adanya kebijakan standar mutu setelah dihapusnya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) beberapa waktu lalu.

Dalam konstelasi itu, nasib yang diterima Aceh lebih menyedihkan. Mutu pendidikan daerah ini merosot tajam menyamai daerah lain yang tidak memiliki dana Otsus.

Data terbaru menunjukkan nilai TKA siswa Aceh berada di posisi 31 dari 38 provinsi. Padahal dalam beberapa tahun sebelumnya, sebelum pergantian kepemimpinan tertentu di Dinas Pendidikan Aceh, prestasi Aceh masih bertengger pada peringkat 8 besar nasional.

Baca juga: Framing Ranking 1

Artinya, realitas hari ini adalah hasil kerja seluruh stakeholder pendidikan tiga tahun sebelumnya. Sebuah pola kerja yang manipulatif dan sarat pencitraan.

Hasil TKA hari ini bukan sekadar angka. Ini alarm keras yang menegaskan, bahwa ada yang sangat keliru dalam cara Aceh mengurus pendidikannya.

Berada di urutan 31 bukan takdir. Itu akibat tata kelola yang salah.

Baca juga: Jangan Memimpin Disdik seperti Mengelola Perusahaan Pribadi !

Kemunduran kualitas ini bukan muncul tiba-tiba. Ia adalah buah dari kesalahan manajemen birokrasi pendidikan yang dibiarkan berlangsung tanpa koreksi.

Dalam beberapa tahun terakhir, Dinas Pendidikan Aceh dipimpin dengan pendekatan dan kebijakan yang tidak berbasis kompetensi. Lebih parah lagi, posisi strategis diisi oleh ASN yang tidak memiliki relevansi tupoksi pendidikan—bukan pejabat karier Disdik, bukan ahli kurikulum, bukan penggerak mutu guru—melainkan pegawai yang dipaksakan masuk dari instansi seperti Dinas Sosial maupun Satpol PP. Bagaimana mungkin mutu belajar dapat naik jika yang memimpin tidak memahami apa yang sedang dipimpin?

Baca juga: Kadisdik Aceh Alhudri Marah-marah, Sita Hp Kepsek pada Rapat Evaluasi Kelulusan PTN

Di sisi lain, kebijakan penghapusan anggaran pelatihan guru adalah ironi terbesar. Guru adalah ujung tombak kelas. Namun ketika mereka justru tidak diberi ruang peningkatan kompetensi, bagaimana Aceh berharap mampu bersaing?

Banyak daerah lain agresif meningkatkan kapasitas guru melalui pelatihan terstruktur, workshop pedagogi, hingga kolaborasi kampus-sekolah. Sementara Aceh justru memutus jalur pembinaan yang seharusnya menopang kualitas SDM masa depan.

Baca juga: Staf Disdik Aceh Difungsikan Seperti Buzzer

Yang bekerja selama ini malah bukan program, bukan peningkatan kapasitas, bukan roadmap mutu pendidikan. Yang bekerja adalah buzzer.

Kepemimpinan birokrasi pendidikan terlalu sibuk pada pencitraan—mengisi pemberitaan, merayakan diri, membangun ilusi pencapaian—sementara skor asesmen siswa diam-diam anjlok, dan publik hanya mendengar realitas yang berbeda ketika data nasional akhirnya dirilis.

Pendidikan tidak bisa dibangun dengan akal-akalan.

Aceh selama ini menyerukan komitmen pada pembangunan SDM, namun kebijakan tidak pernah mencerminkan janji itu.

Anak-anak Aceh tidak butuh slogan, mereka butuh guru hebat. Mereka butuh ruang kelas yang memberi masa depan, bukan sistem birokrasi yang memberi alasan.

Apakah Aceh akan terus memelihara tradisi kebijakan yang menurunkan martabat pendidikan daerah sendiri?

Kini saatnya Pemerintah Aceh berhenti meninabobokan publik dengan narasi manis. Reformasi pendidikan tidak akan terjadi tanpa pembenahan fondasi:

  • menempatkan SDM kompeten dan relevan dalam tubuh Disdik,
  • mengembalikan anggaran pelatihan guru secara signifikan, dan
  • menuntut kepemimpinan yang berpihak pada mutu, bukan citra.

Jika Aceh ingin kembali ke papan atas, maka era pembiaran harus diakhiri hari ini. Pendidikan bukan panggung pencitraan, ia adalah arena menentukan apakah generasi Aceh kelak berdiri sebagai pemenang, atau penonton dalam pembangunan bangsanya sendiri.[]

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *