News  

Prabowo bukan Pilihan Rakyat? Audit Hasil Pilpres!

Pemilu bukan sekadar seremoni lima tahunan. Ia merupakan mekanisme kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin, sebagaimana ditegaskan Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762), bahwa kedaulatan politik bersumber pada kehendak umum (general will) dan mandat hanya sah apabila diberikan secara sadar oleh rakyat.

Dalam konteks Indonesia, prinsip itu ditegaskan secara konstitusional melalui Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Dengan demikian, ketika rakyat memilih presiden, harapan yang dititipkan bersifat fundamental: kehidupan yang lebih layak, penegakan hukum tanpa pandang bulu, perlindungan dari kesewenang-wenangan, serta negara yang hadir untuk menyejahterakan.

Memilih pemimpin bukanlah tindakan menyerahkan nasib, tetapi tindakan politik untuk menolak penderitaan, korupsi, ketidakadilan, dan ketakutan yang dilembagakan melalui kekuasaan.

Baca juga: Kenapa Prabowo tak Bisa Lepas dari Jokowi?

Dalam dinamika kepemimpinan Prabowo hari ini, banyak lapisan masyarakat merasa tidak menemukan hasil dari mandat yang mereka titipkan. Aspirasi publik seolah terpinggirkan oleh kebijakan elitis yang tidak bersandar pada denyut kebutuhan masyarakat. Penguatan institusi antikorupsi yang diharapkan publik, misalnya, tidak terlihat progresif.

Persepsi publik tentang pemeliharaan kekuasaan dan keberadaan kelompok elite politik lama tetap bercokol—bahkan setelah muncul tudingan publik mengenai keterkaitannya dengan kasus-kasus korupsi. Kondisi ekonomi yang menghimpit masyarakat juga memperkuat narasi bahwa suara rakyat tidak lagi menjadi pertimbangan substantif dalam pengambilan kebijakan.

Baca juga: Berawal dari Status soal Pilpres di Facebook … 2 Pria Terlibat Duel, 1 Orang Tewas

Dalam kacamata teori legitimasi kekuasaan Max Weber (Economy and Society, 1922), pemimpin berhak memerintah hanya selama memperoleh legitimacy — yaitu pengakuan sukarela dari rakyat. Jika legitimasi itu terkikis, maka kekuasaan hanya menjadi bentuk dominasi semata.

Tanda Tanya atas Mandat

Pertanyaan besar muncul: Apakah Prabowo berkuasa benar-benar dengan mandat yang berasal dari rakyat? Jejak Pilpres lalu menyisakan perbincangan luas mengenai dugaan ketidaknetralan aparat, penggunaan bantuan sosial sebagai instrumen politik, hingga indikasi kecurangan. Hal-hal ini bahkan memasuki ruang akademik dan wacana publik, seperti dibahas dalam berbagai forum ilmiah dan diperkuat melalui film dokumenter Dirty Vote.

Dalam teori demokrasi, Robert A. Dahl (Polyarchy, 1971) menegaskan bahwa integritas pemilu merupakan syarat minimal demokrasi: tanpa kompetisi yang adil dan partisipasi yang bebas, hasil pemilu kehilangan makna representatif. Maka, ketika sebagian rakyat merasa hasil pemilu bukan cerminan kehendak mereka, persoalan ini bukan sekadar teknis, melainkan moral dan politis.

Audit Pemilu: Jalan Mengembalikan Martabat Kedaulatan

Dari keresahan inilah tuntutan audit menyeluruh terhadap hasil pemilu mengemuka. Audit ini bukan sekadar pemeriksaan angka, melainkan mekanisme etik dan konstitusional untuk menegaskan kembali siapa pemilik kedaulatan negara.

Walau Indonesia tidak memiliki instrumen hukum eksplisit yang mengatur audit hasil pilpres pasca-penetapan, tuntutan ini merupakan alarm politik yang menandai runtuhnya kepercayaan publik.

Dari perspektif teori politik kontemporer, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) mengingatkan bahwa demokrasi tidak runtuh secara tiba-tiba, melainkan diam-diam — terutama saat publik kehilangan kepercayaan pada proses elektoral tetapi negara mengabaikan koreksi. Karenanya, audit pemilu dapat dipahami sebagai tindakan preventif untuk menyelamatkan demokrasi sebelum kepercayaan publik hilang total.

Apabila pemerintah meyakini legitimasi kekuasaan bersumber dari pemilu yang bersih, maka seharusnya pemerintah menjadi pihak pertama yang mendukung audit. Kekuasaan yang benar tidak akan alergi pada transparansi. Audit bukan ancaman bagi negara. Audit adalah cara mengembalikan martabat negara dan memperbaiki hubungan antara negara dan rakyat.

Rakyat Menagih: Kembalikan Suara Kami!

Kini, bola berada di tangan mereka yang duduk di kursi kekuasaan, sementara rakyat menunggu. Dalam sejarah politik, suara rakyat tidak selamanya diam.

Ketika aspirasi tidak didengar, ketika rakyat merasa mandat dirampas, dan ketika mereka merasakan kezaliman politik, maka gerak rakyat menjadi keniscayaan — bukan melalui anarki, tetapi melalui tuntutan yang paling sah dalam negara hukum: penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, ketika rakyat menuntut audit pemilu, itu bukan sekadar kegaduhan politik. Itu adalah panggilan moral: “Kembalikan suara kami. Audit pemilu sekarang.”

Rakyat bukan objek kekuasaan. Rakyat adalah pemilik negeri. Mereka memilih presiden bukan untuk menderita melalui pajak yang mencekik, intimidasi yang merajalela, dan kebijakan yang meminggirkan.

Maka, jika hari ini rakyat merasa dikhianati, wajar mereka menagih pertanyaan mendasar yang hanya dapat dijawab dengan satu langkah sederhana namun menentukan:

“Benarkah rakyat pernah memilih Anda?”

Jawabannya hanya dapat diuji melalui keberanian untuk membuka proses pemilu dan mempertanggungjawabkannya.

Audit pemilu sekarang. Karena kedaulatan bukan milik presiden. Kedaulatan adalah milik rakyat.[]

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *