DALAM dua dekade terakhir, Indonesia bangga karena jumlah publikasi ilmiahnya meningkat. Grafik naik, peringkat terlihat membaik, dan pemerintah menjadikannya bukti kemajuan riset.
Namun, ada pertanyaan penting: apakah dunia benar-benar membaca, mengutip, dan memakai hasil riset Indonesia? Atau, kita hanya memproduksi angka tanpa pengaruh intelektual nyata?
Publikasi ilmiah adalah artikel di jurnal akademik yang menjadi bukti ko
ntribusi peneliti atau institusi. Lembaga internasional seperti SCImago menilai dampak riset melalui indikator seperti jumlah publikasi, sitasi, self-citation, dan H-index.
Sitasi menunjukkan pengakuan komunitas ilmiah, sedangkan self-citation adalah ketika penulis mengutip dirinya sendiri—yang dapat menjadi tanda isolasi intelektual. Karena itu, indikator baru seperti Clean Citations per Document dan Clean Impact Rank digunakan untuk mengukur sitasi “bersih”, yaitu seberapa banyak karya benar-benar digunakan oleh peneliti lain secara global.
Baca juga: S2 Agroekoteknologi USK Terbaik di Indonesia
Beberapa peneliti dunia mengingatkan: pertumbuhan angka publikasi tidak selalu berarti kemajuan sains jika kualitasnya rendah. Fenomena inflasi publikasi—di mana artikel terus bertambah melalui jurnal predator atau praktik “paper salami”—membuat jumlah dokumen naik, tetapi dampaknya kecil bagi ilmu pengetahuan.
Gambaran yang Menyakitkan
Data SCImago 1996–2024 menunjukkan:
- Jumlah publikasi Indonesia: 447.794 dokumen (peringkat ke-37 dunia).
- Sitasi total: 2.966.471.
- Self-citation: 893.334 (30%).
- Clean Citations per Document: 4,63.
- Peringkat global Clean Impact Rank: 242 dari 243 negara.
Artinya, hampir seluruh produktivitas riset Indonesia tidak ikut membentuk wacana global. Banyak artikel terbit, tetapi jarang dibaca, dikutip, atau digunakan oleh peneliti lain.
Baca juga: USK Masuk Top 1000 Dunia, Peringkat 6 Nasional Bidang Kesehatan
Negara kecil dengan jumlah artikel jauh lebih sedikit justru memiliki impact jauh lebih tinggi—misalnya Anguilla, Tokelau, atau Micronesia—yang bisa mencapai 50–80 sitasi bersih per dokumen. Mereka sedikit menulis, tetapi setiap publikasinya relevan dan dikutip.
Ini menunjukkan bahwa persoalan Indonesia bukan jumlah peneliti atau sumber daya, tetapi salah strategi: riset diarahkan untuk mengejar kuantitas, bukan kualitas dan relevansi.
Visualisasi Data: Kuantitas tidak Berjalan dengan Kualitas
Dalam berbagai grafik perbandingan:
- Indonesia terlihat sebagai titik besar di sisi grafik—karena jumlah dokumen sangat tinggi.
- Namun posisinya jatuh di bawah garis dampak ilmiah global—menunjukkan kualitas rata-rata rendah.
- Rasio self-citation yang sangat tinggi menandakan isolasi: riset berputar di lingkaran internal, tidak dianggap relevan oleh komunitas global.
- Jika dibandingkan antara peringkat volume (jumlah publikasi) dan Clean Impact Rank, Indonesia terlihat “terjun bebas”—memiliki angka besar tetapi dampak hampir tidak ada.
Visualisasi ini menggambarkan ilusi produktivitas: seolah-olah kita maju, padahal kontribusi kita bagi ilmu pengetahuan dunia masih minim.
1. Dampak jika Tren Ini Tidak Diperbaiki
Jika inflasi publikasi dibiarkan, maka yang akan terjadi kemudian adalah:
Devaluasi ilmu:
- Banyak artikel muncul di jurnal kuartil rendah dan predator.
- Karya tidak dikutip → dianggap tidak bermanfaat.
- Reputasi peneliti Indonesia semakin rendah.
2. Kampus berubah menjadi “pabrik artikel”:
- Mahasiswa didorong penelitian dangkal demi syarat kelulusan.
- Dosen mengejar publikasi demi angka kredit.
- Pengajaran dan inovasi terabaikan.
3. Integritas akademik merosot:
- Praktik salami publishing,
- self-citation berlebihan, jual-beli penulis, hingga manipulasi data.
4. Kerugian nasional jangka panjang:
- Bonus demografi tidak menghasilkan SDM sains berkualitas.
- Indonesia tertinggal di bidang strategis seperti kecerdasan buatan, energi, kesehatan, dan teknologi hijau.
- Program pemerintah dibangun di atas riset dangkal → kebijakan gagal, masyarakat merugi.
Sekali reputasi ilmiah runtuh, butuh 10–20 tahun untuk memulihkannya—lebih lama dan lebih mahal daripada melakukan pencegahan sejak dini.
Pelajaran dari Negara Lain
Penurunan reputasi ilmiah karena fokus kuantitas pernah terjadi di beberapa negara:
- Korea Selatan (skandal sel induk 2005) → kepercayaan ilmiah runtuh, reputasi nasional tercoreng.
- India (2010-an) → ribuan artikel predator diterbitkan untuk mengejar angkat kredit, tetapi tidak menghasilkan inovasi.
- China → pernah mengalami penarikan ratusan publikasi karena manipulasi dan salami publishing.
- Rusia → ribuan artikel ditarik dan beberapa universitas kehilangan akreditasi akibat target kuantitas berlebihan.
Semua contoh ini menunjukkan: angka yang tinggi tidak menjamin kekuatan ilmiah.
Arah Perubahan: Reformasi Riset Nasional
Untuk membalikkan keadaan, ada tiga fokus utama: (1) reformasi kebijakan, (2) perbaikan perilaku akademik, (3) penguatan ekosistem pendidikan tinggi.
1️⃣ Reformasi Kebijakan Pemerintah
- Ubah sistem insentif riset: bukan berbasis jumlah publikasi, tetapi berbasis dampak (sitasi, paten, implementasi kebijakan, solusi industri, nilai sosial).
- Dana riset harus berbasis outcome, bukan laporan administratif.
- Bentuk lembaga pengawas etika riset independen untuk mencegah jurnal predator, manipulasi data, dan pelanggaran authorship.
- Pertimbangkan Undang-Undang Riset & Inovasi Nasional sebagai payung hukum yang menegaskan: kualitas, integritas, relevansi adalah prioritas.
2️⃣ Perubahan di Tingkat Peneliti dan Dosen
- Fokus pada topik yang berdampak: menjawab masalah ilmu, industri, atau masyarakat.
- Perluas kolaborasi internasional dan multidisiplin.Biasakan riset dengan data terbuka, metode transparan, dan penulisan ilmiah yang jujur.
- Hindari salami publication, publikasi predator, dan self-citation berlebihan.
Kompetensi peneliti muda harus diperkuat melalui:
- mentoring riset yang mendalam,
- pelatihan metodologi yang kuat,
- budaya riset yang kritis dan berbasis refleksi, bukan sekadar memenuhi target.
3️⃣ Penguatan Ekosistem Pendidikan Tinggi
- Integrasikan literasi riset dan etika ke dalam kurikulum.
- Mendorong penelitian berbasis masalah nyata, bukan studi minimal untuk syarat seminar.
- Evaluasi akademik berbasis kualitas, bukan jumlah publikasi.
- Keterampilan analitik dan digital—statistik, pemrograman, analisis data—harus diajarkan sejak awal.
Kesimpulan
Indonesia berhasil meningkatkan jumlah publikasi ilmiah, tetapi gagal membangun pengaruh global. Data SCImago memperlihatkan ironi: produktivitas tinggi, dampak hampir nol. Posisi ke-242 dari 243 negara adalah alarm nasional.
Pertanyaan terpenting bukan lagi berapa banyak yang kita tulis, tetapi:
apakah riset Indonesia dibaca, dikutip, dan memengaruhi dunia?
Jika ingin ilmu pengetahuan menjadi fondasi kemajuan bangsa—bukan sekadar angka laporan—maka strategi riset harus bergeser: dari kuantitas ke kualitas, dari administrasi ke inovasi, dari statistik ke dampak nyata.[]
:: Ruben Cornelius Siagian adalah seorang penulis dan analis yang fokus pada isu politik, keamanan, dan transformasi digital di Indonesia.












