Opini  

Bersabarlah, Saudaraku … Penderitaan Ini Demi Wibawa Presiden

Avatar photo
Lumpur sisa banjir yang membenam rumah warga. Lahan pertanian juga hilang ditimbun lumpur. Timbul masalah ... menggunakan alat apa untuk mengeruk lumpur yang menimbun sawah dan pemukiman. Dibuang kemana? Masyarakat hanya bisa pasrah (foto: tangkapan layar TikTok)

Pak Presiden yang terhormat, barangkali kata-kata ini akan terasa getir, bahkan sarkas, bila dibaca dengan nada amarah. Maafkan, Pak Presiden.

Jika memang terdengar sarkas, itu masih terlalu lunak bila dibandingkan dengan getir yang kini ditelan rakyat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Mereka kelaparan. Mereka sakit. Mereka berkabung; kehilangan anggota keluarga, kehilangan rumah, kehilangan hari depan, bahkan kehilangan harapan untuk sekadar esok pagi.

Jangan katakan “terkendali”, Pak Presiden.Tak ada huru-hara di sana. Tak ada kekacauan akibat demonstrasi. Yang ada hanyalah bencana. Sunyi, kejam, dan mematahkan tulang punggung orang-orang kecil.

Baca juga: VIDEO: Prabowo Tolak Bantuan Asing Tangani Bencana Aceh dan Sumatera

Ketika kata “terkendali” meluncur dari mulut kekuasaan, ia terdengar asing di telinga para ibu yang menimang anak tanpa selimut, para ayah yang berdiri di atas puing rumahnya sendiri.

Masalahnya bukan semata diksi, Pak. Kebijakan Bapak tampak ragu, bahkan ambigu.

Pada satu waktu, Bapak berjanji akan all out, mengerahkan seluruh kekuatan nasional. Pada waktu lain, Bapak berkata tak memiliki tongkat Nabi Musa, seolah bencana ini adalah takdir yang harus diterima tanpa ikhtiar luar biasa.

Baca juga: Pemerintah “Rahasiakan” Faktor Penyebab Bencana Aceh tidak Berstatus Bencana Nasional

Di antara dua pernyataan itu, rakyat membaca kebimbangan. Mereka membaca ketidaktegasan.

Bencana ini besar, Pak Prabowo. Ia bukan sekadar berita singkat di layar televisi atau laporan berlapis meja birokrasi.

Ribuan nyawa melayang. Rumah-rumah lenyap ditelan lumpur. Manusia-manusia hidup berpindah ke hutan, ke bukit, ke ruang terbuka, bertahan dengan apa adanya.

Mereka berjalan puluhan kilometer, bukan untuk mencari sensasi, melainkan demi bertahan hidup. Maka sungguh janggal ketika disebut “terkendali”. Terkendali oleh siapa? Dikendalikan dengan apa?

Mereka melapor, Pak.Tentang rumah yang hilang. Tentang sawah yang tenggelam. Tentang anak-anak yang demam tanpa obat.

Barangkali penderitaan itu tak tampak dari pinggir helipad tempat pesawat kepresidenan mendarat. Di sana memang rapi.

Tapi cobalah menengok ke pedalaman, ke lereng gunung, ke jalan-jalan yang hanya bisa dilalui kaki telanjang dan doa.

Atas dasar apa Bapak menyimpulkan bencana ini sederhana dan tak perlu bantuan asing? Atas laporan para menteri?

Jika demikian, sungguh malang nasib rakyat. Kepala BNPB sempat menyebut banjir dan longsor hanya “heboh di media sosial”. Menteri ESDM bahkan menyampaikan laporan yang terbukti keliru soal listrik di Aceh. Dari laporan-laporan semacam itukah kesimpulan besar ditarik, sementara di lapangan rakyat terus menderita?

Bantuan datang, tapi sering kali tak sampai. Kalaupun tiba, ia dirampas oknum.

Rakyat tetap sendirian, menggali lumpur dengan tangan sendiri, memanggul sisa hidup di pundak yang nyaris patah. Namun di tengah semua itu, Bapak menolak bantuan asing dengan alasan Indonesia mampu.

Benarkah, Pak?

Bukankah negeri ini sedang mengetatkan ikat pinggang? Anggaran daerah dipangkas. Pembangunan tertunda. Lalu dari mana dana untuk membangkitkan Aceh, Sumut, dan Sumbar yang luluh lantak?

Mengapa gengsi harus didahulukan di tengah tragedi kemanusiaan? Ini bukan soal politik, Pak Presiden. Ini soal nyawa.

Pertanyaan yang lebih perih pun muncul, dan mungkin tak pantas, tapi tak terelakkan. Apakah ada luka lama yang ikut berbicara? Apakah Aceh dan Sumbar dihukum karena pilihan politik di masa lalu? Jika tidak, jujurlah, Pak. Kejujuran sering kali lebih menenangkan daripada pidato panjang.

Untuk saudaraku di Aceh dan sekitarnya, bersabarlah. Bersabarlah hingga batas kesabaran itu sendiri diuji. Jangan terlalu berharap pada manusia, bahkan pada Presiden.

Berjalanlah. Galilah lumpur yang menelan rumahmu dengan tanganmu sendiri, dengan jarimu, dengan doa yang pecah di antara air mata.

Bersabarlah. Kita mungkin tak punya siapa-siapa. Selain Allah.

Bersabarlah sedikit lagi, Saudaraku. Penderitaan ini tak seberapa dibandingkan kewibawaan Presiden jika harus menerima bantuan asing. Itu lebih utama.

Itulah yang bisa kita persembahkan untuk harga diri seorang pemimpin kita. Tahanlah penderitaan itu. Tahanlah. Demi wibawa Presiden.[]

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *