Opini  

Saatnya Dunia Internasional Hadir Demi Kemanusiaan

Avatar photo
Kayu gelondongan yang dibawa banjir Aceh beberapa hari lalu (foto: Ist)

LEBIH dari tiga pekan sejak banjir bandang melanda wilayah Sumatera dan Aceh pada 26 November 2025, penderitaan korban belum juga berakhir. Ribuan warga dilaporkan meninggal dunia, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi. Hingga hari ini, upaya penanganan darurat belum sepenuhnya menjawab kebutuhan paling mendasar para penyintas.

Di banyak lokasi terdampak, bantuan logistik tersendat, akses listrik belum pulih, air bersih sulit diperoleh, jaringan komunikasi lumpuh, dan layanan kesehatan bekerja dalam kondisi sangat terbatas. Masalah tersebut diperparah oleh rusaknya akses jalan dan jembatan yang membuat distribusi bantuan tidak merata. Antrean panjang BBM dan gas rumah tangga menjadi pemandangan harian, sementara kebutuhan pangan dan obat-obatan kerap tak terpenuhi.

Bencana ini tidak hanya berdampak pada 18 kabupaten/kota di Aceh yang langsung dihantam banjir bandang, tetapi turut memicu krisis sosial dan ekonomi di hampir seluruh wilayah Aceh—23 kabupaten/kota—akibat terganggunya rantai distribusi, layanan publik, dan aktivitas ekonomi. Krisis ini bersifat sistemik dan berkepanjangan, dengan ketidakpastian yang kian menekan kehidupan masyarakat.

Baca juga: Lahan Prabowo di Aceh Berada di Empat Kabupaten Terparah Banjir, Hanyutkan Ratusan Kayu Gelondongan

Dalam konteks ini, persoalan yang dihadapi tidak lagi semata-mata soal respons teknis bencana, melainkan telah menjelma menjadi krisis kemanusiaan dan lingkungan hidup. Kerusakan ekosistem yang masif—mulai dari hutan, daerah aliran sungai, hingga kawasan permukiman—menunjukkan bahwa daya dukung alam telah dilampaui. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sendiri dalam berbagai laporan resminya menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi ekstrem semakin sering terjadi akibat degradasi lingkungan dan perubahan iklim, sementara kapasitas daerah sering kali tidak sebanding dengan skala bencana.

Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten/kota menghadapi keterbatasan serius, baik dari sisi anggaran, fasilitas, maupun jangkauan operasional. Tidak sedikit daerah yang secara simbolik mengibarkan “bendera putih” sebagai sinyal darurat karena tidak mampu lagi menangani kebutuhan dasar warganya. Dalam situasi seperti ini, ketergantungan semata pada kemampuan domestik justru berisiko memperpanjang penderitaan korban.

Baca juga: Tak Punya Tongkat Nabi tapi Sok Gengsi?

Kondisi pengungsian yang padat dan minim sanitasi juga meningkatkan ancaman krisis kesehatan lanjutan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara konsisten mengingatkan bahwa pascabencana banjir, risiko wabah penyakit—seperti diare, infeksi saluran pernapasan, penyakit kulit, hingga penyakit berbasis air—meningkat tajam apabila respons kemanusiaan tidak cepat dan memadai.

Atas dasar itu, sudah sepatutnya krisis ini ditempatkan sebagai isu kemanusiaan universal, bukan semata urusan administratif atau politik dalam negeri. Prinsip-prinsip kemanusiaan internasional—humanity, neutrality, impartiality, dan independence—memberi landasan moral dan hukum bagi keterlibatan dunia internasional dalam situasi darurat yang mengancam kehidupan manusia.

Tidak seharusnya ada alasan politik, ego sektoral, atau kekhawatiran administratif untuk menutup pintu bagi bantuan internasional. Keterlibatan lembaga-lembaga kemanusiaan global, badan-badan PBB, dan organisasi internasional lainnya bukanlah bentuk kegagalan negara, melainkan wujud tanggung jawab moral untuk menyelamatkan nyawa manusia. Bantuan tersebut dapat dilakukan dengan tetap menghormati kedaulatan negara dan koordinasi dengan otoritas nasional.

Terlebih, status bencana—apakah ditetapkan sebagai bencana nasional atau tidak—seharusnya tidak menjadi penghalang bagi penyelamatan nyawa. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa banyak negara membuka akses bantuan global justru untuk mempercepat pemulihan dan mencegah krisis yang lebih luas, tanpa harus kehilangan martabat atau kedaulatannya.

Lebih jauh, bencana ini juga membuka luka lama terkait tata kelola lingkungan. Kerusakan ekosistem yang parah tidak bisa dilepaskan dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, lemahnya penegakan hukum lingkungan, serta kompromi politik dengan kepentingan modal. Dalam realitas ini, rakyatlah yang menanggung akibat paling kejam—kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa.

Jika negara tetap bertahan pada narasi “harga diri bangsa” sementara warganya terancam kelangsungan hidup dan martabatnya, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar citra pemerintah, melainkan kepercayaan rakyat itu sendiri. Kekecewaan yang menumpuk dan ketidakpercayaan yang mengeras berpotensi melahirkan dampak politik dan sosial yang jauh lebih berbahaya di masa depan.

Atas nama kemanusiaan, keselamatan jiwa harus ditempatkan di atas segala pertimbangan lain. Membuka ruang bagi bantuan internasional bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian moral untuk mengakui keterbatasan demi menyelamatkan manusia dan memulihkan kehidupan. Dalam situasi darurat seperti ini, dunia internasional tidak hanya boleh hadir—tetapi memang sudah saatnya diundang untuk hadir.[]

Penulis; adalah akademisi dan pengamat kebijakan publik, berdomisili di Banda Aceh

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *