Opini  

Negara Seperti Ada dan Tiada untuk Aceh

Avatar photo
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem tak sanggup menahan kesedihan saat diwawancarai Najwa Shihab. Ia menyampaikan pesan rakyat Aceh untuk Indoensia dalam tayangan YouTube NajwaShihab, diunggah Senin 8 Desember 2025 (foto: tangkapan layar)

Refleksi Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh (Tahap I, 28 November–11 Desember 2025)

EMPAT belas hari masa tanggap darurat bencana hidrometeorologi di Aceh—28 November hingga 11 Desember 2025—menjadi cermin getir tentang rapuhnya kehadiran negara di saat rakyat paling membutuhkan. Dalam rentang waktu itu, jutaan warga Aceh seakan dipaksa mundur ke “zaman purba”: hidup tanpa listrik, tanpa jaringan telekomunikasi, tanpa kepastian pangan dan energi.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, masyarakat harus menjalani kehidupan serba sangat sangat darurat. Perlengkapan dasar masyarakat modern—gawai, komputer, televisi, lemari pendingin, mesin cuci, hingga pendingin ruangan—tak lagi berfungsi. Situasi ini ironisnya tidak hanya dialami daerah terdampak langsung, tetapi juga kawasan yang relatif aman seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Pidie, dan Aceh Barat Daya.

Kelangkaan BBM dan LPG memperparah kondisi. Aktivitas industri rumah tangga, UMKM, serta distribusi bahan kebutuhan pokok lumpuh. Harga pangan melonjak akibat terhambatnya transportasi. Dampaknya tidak kecil: krisis ini menyentuh sekitar 5–6 juta penduduk Aceh, hampir seluruh populasi provinsi ini.

Baca juga: Tak Punya Tongkat Nabi Musa, tapi Jangan Tutup Pintu Bantuan Asing

Kapasitas Negara Terbatas?

Dalam situasi darurat, publik berharap negara hadir melalui kapasitas kelembagaan dan profesionalisme aparat kemanusiaan. Namun yang terlihat justru sebaliknya. Penanganan bencana oleh lembaga dan organisasi pemerintah tampak sangat terbatas. Unit-unit penyelamatan yang dimiliki negara tidak menunjukkan keandalan maupun kualifikasi sebagai humanitarian workers yang terlatih menghadapi bencana besar. Sebagian bahkan tampak lebih menyerupai aparat administratif ketimbang tim tanggap darurat.

Di sejumlah wilayah terisolasi, korban bencana harus bertahan dengan apa pun yang tersedia. Nasi dan bahan pangan pokok tidak ditemui selama berhari-hari. Ada warga yang harus menempuh puluhan kilometer—bahkan berhari-hari perjalanan—hanya untuk memperoleh makanan demi menyelamatkan diri dan keluarganya. Keterisolasian yang berkepanjangan ini berdampak langsung pada keterlambatan pencarian, evakuasi, dan penyelamatan korban yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan.

Belajar dari Tsunami 2004

Yang paling mencolok adalah absennya operasi air drop logistik secara besar-besaran ke daerah terisolasi. Padahal, saat bencana tsunami 2004, negara—bersama komunitas internasional—melakukan penyaluran logistik masif melalui jalur udara, darat, dan laut.

Baca juga: Warga Bener Meriah Masih Terisolir, Pertalite Rp 60 Ribu Seliter

Bantuan disebar luas, bahkan ke wilayah yang tidak terdampak langsung, demi memastikan seluruh rakyat Aceh memperoleh akses pangan. Tidak ada kalkulasi politik atau administratif saat itu, selain satu tujuan: menyelamatkan nyawa manusia.

Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa pendekatan kemanusiaan serupa tidak diterapkan dalam bencana hidrometeorologi kali ini? Tidak terlihat pengerahan komponen cadangan negara secara masif untuk pencarian dan penyelamatan, baik di darat, sungai, laut, maupun wilayah yang diduga tertimbun lumpur. Padahal, secara kebencanaan, hidrometeorologi ekstrem—yang menurut data BNPB kini menyumbang lebih dari 90 persen kejadian bencana di Indonesia—menuntut kesiapsiagaan tinggi dan respons cepat.

Listrik, BBM, dan Komunikasi: Titik Kritis yang Diabaikan

Kegagalan paling mendasar terjadi pada sektor energi dan komunikasi. Jaringan telekomunikasi yang seharusnya memiliki sistem cadangan (genset atau baterai) justru lumpuh dengan alasan klasik: tidak ada listrik dan BBM. Akibatnya, komunikasi dan informasi vital di hampir seluruh Aceh terputus, kecuali di beberapa titik yang telah menggunakan teknologi satelit seperti Starlink.

PT PLN memang melakukan perbaikan jaringan listrik dan mengklaim mengerahkan puluhan ribu teknisi dari seluruh Indonesia. Namun pola kerja yang diterapkan masih bersifat normal pascabencana, bukan emergency response. Tidak terlihat kebijakan darurat berupa penyediaan generator listrik skala kota atau wilayah sebagai sumber energi sementara untuk aktivitas publik dan jalur komunikasi strategis.

Pertamina pun baru mampu menyalurkan BBM dan LPG secara relatif lancar setelah hari ke-10 masa tanggap darurat, setelah sebelumnya tersandera persoalan kuota dan distribusi. Dalam situasi darurat, keterlambatan energi sama artinya dengan memperpanjang penderitaan rakyat.

Titik Terang di Tengah Gelap

Di tengah situasi suram ini, satu institusi patut diapresiasi: Badan Pangan Nasional dan Bulog. Ketersediaan stok pangan nasional terbukti menjadi penyangga penting. Beras tersedia dan dapat diakses kapan saja oleh posko-posko kebencanaan. Bahkan, ribuan ton tambahan disiapkan sesuai permintaan Pemerintah Aceh. Ini menunjukkan bahwa perencanaan stok pangan nasional relatif lebih siap dibanding sektor energi dan infrastruktur vital lainnya.

Nyawa Manusia dan Martabat Negara

Bagi Pemerintah dan rakyat Aceh, mengabaikan penyelamatan satu nyawa korban bencana sama artinya dengan meremehkan nyawa 5–6 juta rakyat Aceh. Bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan ujian nyata kehadiran negara dan martabat kemanusiaan.

Aceh seolah memang ditakdirkan lahir dalam episode perjuangan panjang, baik konflik antar manusia maupun pergulatan menghadapi bencana alam. Tsunami 2004 menghadirkan perdamaian setelah hampir 30 tahun konflik. Dalam bencana hidrometeorologi ini, barangkali Allah SWT kembali menyiapkan pelajaran lain. Dan benar, Allah adalah sebaik-baik perencana.

Namun, iman tidak boleh menjadi alasan pembenar bagi abainya sistem negara. Justru iman harus mendorong keberanian untuk membangun kemandirian. Aceh harus mampu berdiri di atas kaki sendiri, mengerahkan seluruh kekuatan dan solidaritas sosialnya—meutaloe wareeh—tanpa kehilangan hak konstitusionalnya untuk dilindungi negara.

Pernyataan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, bahwa kita hanya boleh berharap pada ketentuan dan pertolongan Allah SWT—karena berharap pada manusia sering berujung kekecewaan—adalah refleksi pahit dari realitas yang dihadapi Aceh hari ini. Sebuah pernyataan yang, secara tidak langsung, menggambarkan posisi Aceh dalam konstruksi negara-bangsa ini: hadir dalam peta, tetapi sering absen dalam krisis.[]

Teuku Kamaruzzaman; Mantan Sekretaris BRR Aceh–Nias dan Juru Bicara Pemerintah Aceh

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *