PRESIDEN Prabowo Subianto menyampaikan bahwa dirinya tidak memiliki “tongkat Nabi Musa” untuk menyelesaikan seluruh persoalan bangsa secara instan. Pernyataan itu, mungkin dimaksudkan sebagai ungkapan kerendahan hati. Namun, bagi rakyat Aceh yang baru saja dilanda banjir dan longsor, kalimat tersebut justru terdengar sebagai alibi kekuasaan—sebuah gejala buang badan di tengah penderitaan rakyat.
Aceh tidak sedang meminta mukjizat. Rakyat tidak menunggu laut terbelah atau air surut oleh tongkat kenabian. Yang dibutuhkan adalah keputusan administratif dan politik yang tegas, sesuatu yang sepenuhnya berada dalam kewenangan Presiden Republik Indonesia.
Faktanya, pascabencana, Presiden Prabowo telah tiga kali melakukan kunjungan ke wilayah terdampak di Aceh. Kunjungan itu sarat simbol, penuh empati, dan menyentuh sisi emosional korban. Namun di balik itu semua, satu hal yang justru absen adalah kebijakan konkret yang mengikat dan mempercepat pemulihan.
Baca juga: Prabowo Sebut tak Punya “Tongkat Nabi Musa”, Warga Terdampak Banjir Sumatra Diminta Bersabar
Pernyataan “tidak punya tongkat Nabi Musa” menjadi problematik ketika diucapkan bersamaan dengan ketiadaan terobosan kebijakan. Lebih menyakitkan lagi, di saat Presiden mengaku tidak mampu menyelesaikan semuanya secara ajaib, negara justru mempersulit masuknya bantuan kemanusiaan dari dunia internasional dan diaspora Indonesia di luar negeri.
Ini paradoks yang menyakitkan.
Jika memang pemerintah pusat merasa kapasitasnya terbatas, mengapa bantuan global yang datang atas dasar kemanusiaan justru dihadang oleh regulasi berlapis, prosedur kepabeanan kaku, dan ego sektoral antarinstansi? Bukankah dalam situasi darurat, negara seharusnya membuka pintu selebar-lebarnya, bukan menambah kunci?
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara tegas menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama, bahkan di atas prosedur administratif. Tetapi tanpa Keputusan Presiden (Keppres) atau Instruksi Presiden (Inpres) yang eksplisit, aparat di lapangan memilih jalan aman: patuh pada birokrasi, meski rakyat menunggu dalam penderitaan.
Di sinilah letak kegagalan kepemimpinan substantif. Presiden memang tidak punya tongkat Nabi Musa, tetapi Presiden punya kewenangan konstitusional untuk memotong birokrasi, menginstruksikan kementerian, membuka jalur bantuan internasional, dan menjamin kepastian rehabilitasi serta rekonstruksi. Ketika semua itu tidak dilakukan, maka pernyataan tentang “ketiadaan tongkat” terdengar bukan sebagai kerendahan hati, melainkan pembenaran atas ketidakberanian mengambil keputusan.
Bagi rakyat Aceh, kalimat itu bukan sekadar metafora. Ia melukai. Sebab di tengah kehilangan rumah, keluarga, dan mata pencaharian, yang mereka dengar dari kepala negara justru pengakuan keterbatasan, bukan kepastian tindakan.
Lebih ironis lagi, Aceh memiliki sejarah panjang solidaritas internasional. Dunia pernah datang membantu Aceh tanpa diminta, tanpa dipersulit, tanpa kecurigaan berlebihan. Kini, ketika bantuan serupa hendak masuk kembali, negara justru tampak ragu dan defensif terhadap uluran tangan kemanusiaan.
Di titik ini, DPR RI asal Aceh tidak punya alasan untuk diam. Diam berarti ikut membenarkan kebijakan setengah hati. Mereka harus memaksa pemerintah pusat memilih: memimpin dengan keputusan, atau terus berlindung di balik kalimat-kalimat empatik tanpa dampak nyata.
Rakyat Aceh tidak membutuhkan presiden yang berperan sebagai penghibur duka. Mereka membutuhkan presiden yang berani mengambil risiko politik demi kemanusiaan. Tanpa itu, kunjungan demi kunjungan hanya akan menjadi ritual kosong—dan pernyataan tentang “tongkat Nabi Musa” akan tercatat sebagai simbol kegagalan negara memahami rasa sakit rakyatnya sendiri.[]
Penulis; akademisi dan pengamat kebijakan publik, berdomisili di Banda Aceh












