News  

Mengapa Dukungan Asing Perlu? Begini Penuturan Usman Lamreung Mengenang BRR NAD-Nias

Di tengah bencana besar yang kembali melanda Sumatera—khususnya Aceh—pemerintah kembali mengambil sikap klasik: menutup pintu bagi bantuan asing demi alasan mampu menangani sendiri. Pernyataan tersebut terdengar tegas, tetapi juga terasa seperti gema masa lalu.

Bagi Usman Lamreung, seorang pengamat kebijakan publik, sikap itu justru mengingatkan pada satu fase penting dalam sejarah kebencanaan Aceh: hari-hari awal pascatsunami 2004.

“Ini bukan sekadar soal mampu atau tidak,” kata Usman saat berbincang dengan KabarAktual.id, Selasa (9/12/2025).

“Ini soal skala kerusakan yang begitu besar dan mematikan, yang tak bisa dihadapi hanya dengan prosedur normal dan kapasitas birokrasi terbatas,” sambungnya.

Pengalaman empirisnya di periode awal Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh–Nias (BRR) menjadi rujukan penting. Ketika tsunami menggulung Aceh pada 26 Desember 2004, Pemerintah Indonesia menghadapi kehancuran yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Data Badan Pusat Statistik dan BRR mencatat lebih dari 230.000 orang meninggal dunia, 500.000 kehilangan tempat tinggal, dan sekitar 140 ribu rumah hancur di Aceh dan Nias. Total kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi diperkirakan mencapai USD 7,2 miliar, jauh melampaui kemampuan penanganan APBN dalam waktu singkat.

Di lapangan, upaya respons darurat kala itu juga terikat oleh regulasi negara. Mekanisme pengadaan, prosedur tender, serta penganggaran negara memerlukan waktu berbulan-bulan—sementara korban membutuhkan akses jalan, tempat tinggal darurat, layanan kesehatan, dan logistik saat itu juga.

BRR kemudian mengambil langkah terobosan dengan memanfaatkan Multi-Donor Fund for Aceh and Nias (MDF), skema dana off-budget yang dihimpun dari lebih dari 15 negara donor, termasuk Bank Dunia, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Dana ini memungkinkan penyaluran bantuan tanpa terbelenggu prosedur birokrasi nasional.

Melalui MDF, BRR menjalankan Immediate Action Program (IAP), yang memberi ruang kepada lembaga kemanusiaan internasional untuk bekerja cepat sesuai standar tanggap darurat. Organisasi seperti Catholic Relief Services (CRS), Muslim Aid, Oxfam, dan IFRC turun langsung membawa alat berat, material bangunan, serta tenaga profesional yang siap pakai.

Salah satu contoh paling dikenang Usman adalah pembangunan darurat jalan Lamno–Calang. “Jalan itu dikerjakan seadanya, jauh dari standar konstruksi permanen. Secara audit mungkin dianggap buruk,” ujarnya.

“Tapi jalan itu menyelamatkan ribuan orang dari isolasi,” kata Usman.

Ketika pesisir barat Aceh terputus total akibat gempa dan tsunami, jalur Lamno–Calang menjadi satu-satunya akses menuju wilayah terdampak terparah. Tanpa jalan darurat tersebut, distribusi bantuan dan evakuasi korban mustahil dilakukan tepat waktu.

Ironi pun muncul: infrastruktur darurat yang dibangun di situasi ekstrem sempat dipersoalkan sebagai potensi “kerugian negara” karena tidak memenuhi standar administrasi pembangunan.

“Bayangkan jika itu harus dikerjakan birokrat dengan pakem normal,” kata Usman.

“Banyak yang akan takut menandatangani keputusan. Bisa-bisa yang tersisa hanya penundaan, sementara korban terus bertambah.”

Dari pengalaman itu, Usman merumuskan beberapa alasan mengapa dukungan asing tetap krusial dalam kondisi bencana besar, terutama di Sumatera dan Aceh: Menutup celah waktu antara fase darurat dan pembangunan permanen.

Memberi fleksibilitas operasional di luar aturan birokrasi yang kaku.

  • Memanfaatkan kapasitas global yang telah teruji dalam penanganan krisis.
  • Mencegah kelumpuhan kebijakan akibat kekhawatiran aparat terhadap risiko hukum.
  • Menjamin pemenuhan kebutuhan dasar korban sebelum solusi jangka panjang tersedia.

Menurutnya, menolak bantuan asing atas nama kedaulatan justru berisiko mengulang kesalahan masa lalu. Ia menilai kedaulatan sejati tidak diukur dari menutup pintu rapat-rapat, melainkan dari keberanian menggunakan seluruh sumber daya global demi menyelamatkan warganya.“BRR dulu membuktikan bahwa fleksibilitas donor adalah akar yang berguna ketika rotan birokrasi tak tersedia,” ujar Usman.

“Jalan Lamno–Calang mungkin jelek di mata auditor, tetapi ia simbol bahwa bantuan asing bisa menjadi penentu hidup dan mati bagi rakyat.”

Kini, di tengah ulang cerita bencana di Sumatera, ingatan itu kembali relevan.

Sejarah tak sekadar untuk dikenang, tetapi untuk diulang dalam kebijaksanaan—agar nyawa warga tak kembali menjadi korban prosedur yang terlalu lamban berjalan di tengah situasi yang serba darurat.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *