Bahlil Menyingkap Tabir Kebohongan Jakarta

Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf menjemput Presiden Probowo Subiyanto di Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh Besar, Minggu 7 Desember 2025. Rombongan selanjutnya menuju Bireuen menumpang helikopter di Bireuen.

KUNJUNGAN Presiden Prabowo Subianto ke Aceh pada 7 Desember 2025 sejatinya menjadi simbol kehadiran negara di tengah derita rakyat pascabencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Namun, alih-alih meninggalkan kesan kepemimpinan kuat, kunjungan itu justru menyisakan ironi pahit: Presiden berlatar belakang militer itu dipermalukan oleh laporan semu pembantunya sendiri, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

Di hadapan publik Aceh dan media nasional, Bahlil dengan yakin melaporkan bahwa listrik telah pulih sejak 7 Desember dan telah mencapai 97 persen pada malam kedatangan Presiden. Klaim tersebut terdengar meyakinkan di atas podium. Tetapi bagi rakyat Aceh yang masih bertahan dalam gelap, tanpa aliran listrik dan penerangan memadai, pernyataan itu seperti lelucon pahit. Realitas lapangan menunjukkan sebaliknya.

Data resmi PLN menyebutkan pemulihan kelistrikan pascabencana berlangsung bertahap akibat rusaknya gardu, jaringan transmisi, dan distribusi yang terendam serta tertimbun longsor. Hingga 7–8 Desember, belum seluruh wilayah Aceh kembali mendapatkan pasokan listrik normal. BNPB pun mencatat ribuan rumah dan fasilitas umum masih terdampak serius, termasuk jaringan listrik dan telekomunikasi yang belum sepenuhnya berfungsi.

Di sinilah letak persoalannya: bukan sekadar kesalahan teknis komunikasi, tetapi persoalan integritas laporan kepada Presiden. Bagi seorang kepala negara dengan latar disiplin militer, kesalahan informasi di medan krisis bukan perkara sepele. Dalam doktrin komando, laporan yang keliru di garis depan sama artinya menyesatkan pimpinan; sebuah tindakan fatal yang bisa berujung pada keputusan strategis yang salah.

Ironisnya, yang terjadi justru laporan optimistis tanpa pijakan realitas. Presiden seolah diberi peta palsu tentang situasi sebenarnya di Aceh. Lebih ironis lagi ketika realitas di lapangan memperlihatkan rakyat masih terkurung kegelapan, kesulitan air bersih, pasokan BBM terganggu, dan komunikasi terhambat.

Peristiwa ini berdiri bukan sebagai kasus tunggal. Sebelumnya, Presiden juga harus menegur keras Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, yang justru meninggalkan daerah bencananya tanpa izin untuk menunaikan ibadah umrah. Prabowo menyebut tindakan itu sebagai bentuk “desersi”—terminologi militer bagi prajurit yang meninggalkan medan tugas saat bahaya. Presiden bahkan memerintahkan Menteri Dalam Negeri memproses Bupati tersebut.

Dua peristiwa ini—menteri yang melaporkan kondisi semu dan kepala daerah yang abai terhadap krisis—menguatkan asumsi liar di tengah masyarakat: bahwa kabinet Prabowo tidak sepenuhnya tegak lurus di bawah satu komando. Publik melihat adanya residu kekuasaan lama dan relasi politik warisan yang membuat sebagian pejabat tampak berjalan dengan agenda sendiri, tidak sepenuhnya searah dengan kepemimpinan baru.

Akibatnya bukan sekadar mencoreng wibawa Presiden, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap negara. Data BNPB menunjukkan puluhan ribu warga terdampak, ribuan rumah rusak, serta infrastruktur vital lumpuh di berbagai wilayah Sumatera. Di saat genting seperti itu, rakyat membutuhkan kejujuran dan ketegasan negara, bukan angka-angka kosmetik yang meninabobokan pusat kekuasaan.

Aceh tidak butuh laporan indah. Aceh membutuhkan listrik benar-benar menyala, air mengalir, BBM tersedia, dan layanan publik pulih. Ketika pejabat lebih sibuk merapikan citra daripada mencermati kenyataan, korban bencana kembali menjadi pihak yang paling dirugikan.

Presiden tidak boleh terus dipermalukan oleh para pembantunya sendiri. Kepemimpinan Prabowo akan diuji bukan oleh pidato dan kunjungan simbolik, melainkan oleh keberanian menertibkan kabinet—memastikan setiap laporan kepada kepala negara berbasis data riil dan loyal terhadap tugas kemanusiaan.

Bencana tidak mengenal basa-basi. Di tengah derita rakyat, tidak ada ruang bagi laporan palsu, sikap abai, atau politik pencitraan. Yang dibutuhkan hanya satu hal: kejujuran dan ketegasan negara memihak rakyat yang sedang berada di titik terendah kehidupannya.

Dan, kebohongan vulgar seorang Bahli serta setumpuk basa-basi politik pencitraan para elit menyikapi bencana Aceh dan dua provinsi di Sumatera, secara tidak sengaja membuka tabir kepura-puraan Jakarta. Demikianlah fakta sebenarnya. Mereka hanya berpura-pura sedih, pura-pura berempati.

Jika tuduhan itu tidak benar, berarti Presiden sudah mati rasa. Dipermalukan sebegitu hina oleh seorang pembantunya di depan publik — bahkan korban bencana, dia masih bisa tampil percaya diri.

Fakta itu seakan mengonfirmasi bahwa ada kekuatan bayangan yang lebih berkuasa, sehingga Prabowo tidak berani bertindak tegas terhadap menteri yang — bahkan — telah merendahkan kewibawaannya di mata rakyat. Apakah benar kecurigaan publik bahwa presiden sedang “tersandera”?[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *