KabarAktual.id — Dana pokir di Aceh tak ubahnya ibarat siluman. Tak pernah muncul di dokumen resmi anggaran, tetapi nyata beroperasi di balik berbagai proyek SKPA. Pimpinan dan anggota DPRA disebut secara terang-terangan membagi jatah alokasi pokir, sementara publik hanya melihat sisa jejaknya dalam bentuk proyek-proyek yang dikendalikan “dari bawah tanah”.
Lembaga Transparansi Tender Indonesia (TTI) mendesak pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membuka secara transparan seluruh usulan paket kegiatan yang bersumber dari Pokok Pikiran (Pokir) dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2026.
Menurut Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, publik berhak mengetahui sejak dini paket-paket kegiatan yang diusulkan melalui pokir agar masyarakat bisa memberi masukan dan pengawasan. “Kalau pokir itu dibuka ke publik, itu tandanya ada niat baik. Tapi kalau disembunyikan, publik tentu akan bertanya, ada apa sebenarnya di balik usulan itu?” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (9/11/2025).
Baca juga: Sesat Pikir Memahami Pokir
Nasruddin menjelaskan, meski tidak tampil kasat mata dalam struktur APBA, pimpinan dan anggota DPRA secara terbuka membagi jatah alokasi pokir di antara mereka. Nilainya sudah menjadi rahasia umum: pimpinan memperoleh porsi lebih besar dibanding anggota biasa.

Jatah pokir itu kemudian disusupkan ke berbagai kegiatan SKPA, disesuaikan dengan komisi yang menjadi mitra kerja masing-masing anggota dewan. Pola tersebut menyebabkan aparat penegak hukum maupun auditor sulit menelusuri keberadaan dana pokir karena secara administratif seolah menjadi bagian dari program SKPA.
Baca juga: Lempar Program Sembunyi Pokir
Dia menambahkan, kalau hari ini lembaga seperti TTI meminta publikasi anggaran pokir, mereka bisa saja berkelit bahwa pokir itu berada di SKPA. Mereka hanya mengusulkan. “Padahal dalam praktiknya, semua proyek berlabel pokir itu dikendalikan sepenuhnya oleh pemilik pokir,” tegasnya.
Ia mencontohkan, di Aceh Selatan, masih ada saluran irigasi yang tidak berfungsi maksimal hingga ribuan petani di Kluet Utara kesulitan mendapatkan air. Sementara sejumlah proyek pengadaan di Dinas Pendidikan disebut menjadi langganan usulan pokir dengan orientasi mengejar keuntungan cepat.
TTI juga mendesak Gubernur Aceh agar memastikan pelaksanaan APBA 2026 dimulai lebih awal guna menghindari tender akhir tahun yang berpotensi menurunkan kualitas pekerjaan. “Jika perlu, April 2026 seluruh paket sudah selesai proses tender,” ujarnya.
Nasruddin menyoroti rendahnya daya serap APBA 2025 yang hingga November baru mencapai sekitar 65 persen. Beberapa SKPA bahkan mencatat penyerapan terendah, seperti Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Aceh yang hanya mampu merealisasikan Rp80 miliar dari total anggaran Rp750 miliar.
Pembangunan rumah tidak layak huni, kata dia, hampir pasti tak selesai tahun ini. Ini bukti bahwa banyak kegiatan baru dieksekusi menjelang akhir tahun. “Bisa jadi, dananya sempat mengendap demi memperoleh rente,” pungkasnya.[]












