Pemutihan Kredit UMKM Hanya Pencitraan Biar Terkesan Prorakyat?

Gambar hanya ilustrasi (dibuat menggunakan AI Agnes)

PEMERINTAH telah menutup masa berlaku fasilitas penghapusan kredit macet bagi pelaku UMKM dan sektor produktif lain pada 5 Mei 2025. Hal itu sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024, bahwa regulasi itu hanya berlaku selama enam bulan.

Kebijakan yang semula diklaim sebagai langkah keberpihakan terhadap rakyat kecil itu kini mulai dipertanyakan: apakah benar-benar untuk membantu pelaku usaha, atau sekadar menjadi proyek pencitraan politik?

Faktanya, realisasi kebijakan ini di lapangan jauh dari semangat kemudahan yang dijanjikan. Di Aceh, misalnya, terdapat kredit macet sektor UMKM, pertanian, perikanan, dan peternakan senilai Rp 3,8 triliun hingga tahun 2020. Seluruhnya tidak tersentuh fasilitas penghapusan piutang.

Baca juga: Kredit Macet UMKM di Aceh Capai Rp 3,8 Triliun, Nasabah Bank Aceh tidak Dapat Pemutihan

Data yang dikumpulkan OJK Perwakilan Aceh menunjukkan pembiayaan macet itu telah berstatus “hapus buku perbankan” sejak 2010. Para debitur — walaupun ada yang korban bencana alam atau COVID-19 — namun tak satupun berujung pada “hapus tagih” seperti diatur PP 47/2024.

Lebih ironis lagi, syarat administratif yang ditetapkan pemerintah tampak tidak realistis, bahkan kontradiktif. Salah satunya, debitur hanya bisa mendapatkan penghapusan bila kreditnya telah dihapusbukukan minimal lima tahun sebelum PP diterbitkan, atau sejak sebelum 2019.

Artinya, mereka yang baru bangkrut atau terkena dampak pandemi COVID-19 justru tidak masuk kriteria penerima manfaat. Padahal, kelompok inilah yang paling membutuhkan napas segar untuk bangkit kembali.

Baca juga: Dituding Tutupi Data Kredit Macet, OJK Aceh Terancam Disomasi

Selain itu, kebijakan yang berlaku hanya enam bulan — dari 5 November 2024 hingga 5 Mei 2025 — jelas tidak cukup untuk menjangkau ribuan debitur kecil di seluruh pelosok Indonesia. Di tengah sistem birokrasi yang berbelit, jangka waktu sesingkat itu justru memberi kesan bahwa pemerintah hanya ingin menggugurkan kewajiban politik: tampak peduli terhadap UMKM, tanpa benar-benar menuntaskan akar masalahnya.

Padahal, jika pemerintah sungguh-sungguh ingin membantu, seluruh data debitur macet sudah tersedia lengkap di sistem perbankan dan OJK. Bank memiliki catatan historis pinjaman, jaminan, serta status hapus buku. Tidak ada alasan untuk membebankan kembali proses verifikasi berlapis kepada debitur kecil yang bahkan sudah kehilangan kemampuan usaha.

Dalam konteks ini, ketentuan administratif seperti “harus sudah dihapus buku lima tahun lalu” justru memperlihatkan betapa jauhnya pemerintah dari realitas pelaku UMKM.

OJK Aceh memang menyebut tidak ada keluhan masyarakat selama masa kebijakan berjalan. Namun diamnya masyarakat bukan pertanda kebijakan itu sukses, bisa jadi karena mereka tidak tahu, tidak sempat mengurus, atau sudah apatis karena merasa tak ada gunanya. Terlebih, banyak pelaku UMKM di Aceh berurusan dengan bank syariah daerah yang tidak termasuk kategori BUMN, sehingga otomatis tidak bisa menikmati fasilitas tersebut.

Kebijakan pemutihan kredit yang mestinya menjadi angin segar bagi pelaku usaha kecil justru berubah menjadi ilusi keadilan finansial. Ketika persyaratan dibuat terlalu rumit dan waktu pelaksanaannya terlalu singkat, maka yang tersisa hanyalah simbol politik: pemerintah tampak bekerja keras di atas kertas, sementara masyarakat kecil tetap bergulat dalam utang yang tak kunjung lunas.

Jika pemerintah ingin menunjukkan keberpihakan nyata, reformasi sistem pembiayaan UMKM harus menyentuh akar persoalan: akses, edukasi keuangan, dan mekanisme penjaminan risiko yang manusiawi. Menghapus kredit macet bisa menjadi langkah awal, tapi bukan dengan pendekatan administratif yang mematikan niat baik itu sendiri.

Pada akhirnya, kebijakan ekonomi yang lahir dari ruang pencitraan tak akan pernah memberi keadilan sosial. Rakyat kecil sudah terlalu sering dijadikan bahan kampanye keberpihakan, namun ditinggalkan ketika birokrasi menutup pintu.

Jika setiap kebijakan hanya berhenti di level poster dan konferensi pers, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus terkikis. Dan, cita-cita kemandirian ekonomi rakyat hanyalah retorika yang diputar ulang setiap kali musim politik tiba.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *