SEPERTI membangkitkan “batang terendam”, isu pemekaran Kabupaten Aceh Besar kembali digelindingkan. Tujuh kecamatan mendeklarasikan pembentukan daerah baru bernama Kabupaten Aceh Rayeuk.
Langkah ini diklaim dalam kemasan aspirasi, sebagai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengentaskan kemiskinan, dan memperpendek rentang pelayanan publik yang dinilai tak merata karena luasnya wilayah Aceh Besar.
Sebuah pertanyaan mengemuka. Benarkah gagasan ini lahir dari kebutuhan rakyat, atau hanya jualan isu yang dihidupkan oleh ambisi politik kelompok tertentu?
Baca juga: Sontoloyo! Pj Bupati Aceh Besar Tunjuk Mantan Kadis Perpustakaan Kelola Rumah Sakit
Sebagai catatan pengingat, ide pemekaran Aceh Rayeuk ini sebenarnya bukan barang baru. Selama dua dekade terakhir, wacana ini telah muncul dan tenggelam tanpa kejelasan. Kini, semangat itu kembali menguat seiring kabar bahwa moratorium pemekaran daerah—yang berlaku sejak 2014—akan dicabut pada awal 2026.
Data Kementerian Dalam Negeri mencatat hingga April 2025 terdapat 341 usulan daerah otonomi baru (DOB) yang mengantre, termasuk dari Aceh. Provinsi ini sendiri telah bertambah dari 8 menjadi 23 kabupaten/kota sejak reformasi 1998.
Baca juga: Seks Bebas Menampar Wajah Syariat Islam Aceh
Namun, hasilnya belum menggembirakan. Banyak daerah hasil pemekaran justru belum mandiri secara fiskal. Penelitian LIPI dan Bappenas (2022) menunjukkan, lebih dari 60% daerah pemekaran belum mampu membiayai kebutuhan dasarnya sendiri. Infrastruktur tertinggal, pelayanan publik lemah, dan ketergantungan pada dana pusat tetap tinggi.
Pemekaran bukan pilihan murah
Kita perlu jujur: membentuk kabupaten baru bukan perkara murah. Pemerintah harus menyiapkan ratusan miliar rupiah untuk membangun kantor bupati, DPRK, OPD, rumah dinas, hingga infrastruktur dasar.
Padahal, kondisi keuangan negara sedang ketat. Pemerintah tengah melakukan efisiensi besar-besaran, menekan defisit, dan memprioritaskan belanja produktif. Di sisi lain, banyak kabupaten di Aceh masih kesulitan menutup biaya pegawai yang sudah menyedot lebih dari setengah APBD.
Belum lagi, pengalaman serupa pernah terjadi di Aceh Timur. Wacana pemekaran Peureulak Raya gagal dilanjutkan karena pemerintah pusat menilai belum ada kesiapan administrasi dan keuangan yang memadai.
Antara aspirasi dan ambisi
Isu pemekaran sering kali menjadi jualan politik menjelang pemilu. Semangat otonomi daerah dibungkus sebagai perjuangan rakyat, padahal di baliknya terselip ambisi kekuasaan.
Bukti empirisnya sudah banyak. Di sejumlah kabupaten hasil pemekaran di Aceh, pembangunan stagnan. Jalan rusak, pelayanan publik minim, kemiskinan tetap tinggi, dan elit lokal sibuk berebut kursi jabatan. Pemekaran hanya memperbanyak birokrasi, bukan mempercepat kesejahteraan.
Maka wajar bila publik curiga. Apakah “Aceh Rayeuk” ini sungguh-sungguh demi pelayanan publik, atau sekadar proyek politik dengan bungkus pembangunan? Atau, bisa jadi seperti euphoria “batang terendam” yang hanya heboh sesaat seperti hangat tahi ayam.[]
Dr. Usman Lamreung, M.Si, adalah pengamat kebijakan publik dan akademisi