News  

Luhut dan “Barang Busuk” dari Beijing; Ketika Pahlawan Palsu Muncul di Ujung Utang

Kereta cepat Whoosh (foto: Kompas.com)

SEPERTI telah lama diperingatkan banyak ekonom dan pengamat kebijakan publik, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh kini benar-benar jadi beban berat bagi keuangan negara. Proyek yang dulu dielu-elukan sebagai simbol modernitas dan kemandirian teknologi Indonesia, akhirnya menjelma menjadi “lubang hitam” utang dan kerugian BUMN.

Ironinya, tokoh yang paling berperan dalam meloloskan proyek ini ke meja pemerintah justru kini tampil seolah-olah sebagai penyelamat. Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi era Presiden Joko Widodo, kini berbicara lantang bahwa proyek Whoosh adalah “barang busuk” yang sejak awal sudah bermasalah.

“Saya sudah bicara dengan China karena saya yang dari awal mengerjakan itu, karena saya terima sudah busuk itu barang,” kata Luhut dalam sebuah acara di Jakarta, 18 Oktober 2025.

Baca juga: Luhut Sorot Penyaluran Bansos Era Jokowi, 50 % tidak Tepat Sasaran

Pernyataan itu tentu menimbulkan pertanyaan besar. Jka memang barangnya sudah busuk sejak awal, mengapa justru Luhut yang paling gigih mendorong Jokowi memilih China dibanding Jepang pada 2015 lalu?

Pendukung Garis Keras yang “Cuci Tangan”

Pada masa awal pemerintahan Jokowi, Luhut dikenal sebagai “panglima lapangan” proyek infrastruktur strategis, termasuk proyek kereta cepat. Ia pula yang memimpin negosiasi dengan China Development Bank (CDB) dan konsorsium perusahaan Tiongkok yang tergabung dalam China Railway International Co. Ltd.

Kala itu, Luhutlah yang meyakinkan publik dan presiden bahwa proyek ini akan murni skema business-to-business (B2B), tanpa jaminan APBN dan tanpa risiko utang negara. Kini, klaim itu terbukti omong kosong. Pemerintah justru harus turun tangan, bahkan merevisi aturan agar APBN bisa menambal defisit dan menjamin pembayaran utang proyek tersebut.

Baca juga: Purbaya tak Gentar Hadapi Luhut, Tetap Tarik Dana MBG jika tak Terserap

Dalam laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan entitas anaknya PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), kerugian proyek Whoosh sangat mencolok. Sepanjang tahun 2024, PSBI merugi hingga Rp 4,19 triliun, sementara hingga pertengahan 2025, kerugian tambahan mencapai Rp 1,6 triliun. Dengan porsi saham terbesar, KAI sendiri menanggung rugi hampir Rp 2,24 triliun, atau sekitar Rp 6 miliar per hari.

Artinya, proyek yang digadang-gadang menjadi simbol kemajuan kini justru menyeret BUMN strategis ke dalam lumpur utang dan kerugian operasional.

Jeratan utang yang disembunyikanDari total biaya pembangunan Rp 120 triliun (7,27 miliar dolar AS), sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank dengan bunga 2 persen per tahun—jauh lebih tinggi dibandingkan tawaran Jepang yang hanya 0,1 persen.

Dan, ketika biaya membengkak 1,2 miliar dolar AS, tambahan pinjaman dari China kembali diambil. Kali ini dengan bunga di atas 3 persen.

Dengan durasi pinjaman 40 tahun, bunga tetap, dan beban pembayaran yang dijamin pemerintah, jelaslah bahwa proyek ini tak lagi murni bisnis, melainkan telah menjelma menjadi utang negara terselubung. Lebih dari separuh tambahan pembiayaan untuk menutup pembengkakan biaya (cost overrun) ditanggung konsorsium Indonesia. Sementara China tetap menanamkan taring melalui utang berbunga, menjadikan Indonesia semakin terikat pada jeratan finansial Beijing.

Luhut, China, dan “Sindrom Pahlawan Infrastruktur”

Kini, setelah beban itu makin nyata dan tekanan publik terhadap proyek ini meningkat, Luhut mulai mengambil jarak. Ia berulang kali menyebut bahwa dirinya hanya “mewarisi proyek bermasalah”, lalu memosisikan diri sebagai orang yang berusaha memperbaikinya.

Padahal, publik tentu tak lupa bahwa dialah tokoh yang menutup pintu negosiasi dengan Jepang, menolak pembiayaan rendah bunga, dan memilih jalur cepat yang ditawarkan Beijing. Jalur cepat yang ternyata membawa kita ke jalan buntu.

Fenomena ini menunjukkan gejala yang lebih dalam: “sindrom pahlawan infrastruktur”, di mana pejabat tinggi merasa perlu meninggalkan “legacy” megah tanpa menghitung dampak jangka panjangnya terhadap fiskal dan kedaulatan ekonomi.

Luhut mungkin merasa tengah memperbaiki kereta “busuk” itu. Tapi publik tahu, dialah yang pertama kali membuka pintu bagi barang rongsokan itu masuk—dan kini bangsa ini yang harus membayar ongkos mahalnya.

Ketika Ambisi Mengalahkan Rasionalitas

Kasus KCJB adalah cermin dari kegagalan kebijakan yang terlalu bergantung pada politik pencitraan dan ambisi pribadi.Indonesia bukan hanya menghadapi beban utang yang besar, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk membangun model kerja sama internasional yang lebih rasional dan berdaulat.

Kini, ketika “barang busuk” itu mulai berkarat dan menelan triliunan rupiah dana BUMN, kita patut bertanya: Siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab? Apakah cukup dengan sekadar mengatakan, “Saya sudah tahu barang ini busuk sejak awal”? Atau harus diakui bahwa sejak awal, kita memang membiarkan diri dijerumuskan oleh ambisi yang dibungkus jargon kemajuan?[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *