GUBERNUR Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), kembali menjadi sorotan setelah mengeluarkan ultimatum keras terhadap aktivitas tambang ilegal di berbagai wilayah. Dalam pernyataannya, ia memberi tenggat 2×24 jam bagi para pelaku tambang untuk menarik alat berat dari kawasan hutan Aceh.
Langkah itu sontak menuai perhatian publik. Sebagian menilainya sebagai gebrakan berani, sebagian lagi justeru mempertanyakannya. Apakah ketegasan ini akan berwujud tindakan nyata, atau hanya berhenti sebagai retorika politik?
Skala persoalan tambang ilegal di Aceh jauh lebih kompleks dari sekadar permasalahan izin yang menjadi dasar legitimasi. Di sana ada hajat hidup rakyat yang harus mengisi sejengkal perut dan berbagai kebutuhan untuk eksis, seperti akses pendidikan dan kebutuhan akan papan.
Baca juga: Pungli Rp 360 Miliar di Tambang Ilegal Rugikan Rakyat Aceh
Seperti diungkapkan oleh Panitia Khusus (Pansus) Minerba DPR Aceh, sedikitnya terdapat 450 titik tambang ilegal yang tersebar di seluruh provinsi, dengan sekitar 1.000 unit ekskavator beroperasi di kawasan hutan.
Laporan itu juga menyebut adanya dugaan “setoran keamanan” kepada oknum aparat sebesar Rp 30 juta per unit per bulan, atau setara Rp 360 miliar per tahun—sebuah angka yang mencerminkan betapa terorganisasi dan menguntungkannya ekonomi gelap di sektor ini.
Baca juga: Uang Keamanan Excavator Rp 360 Miliar Per Tahun, Mualem Usir Semua Penambang Ilegal dari Hutan Aceh
Di sisi lain, data resmi menunjukkan masih ada 64 izin usaha pertambangan (IUP) aktif di Aceh, meliputi area lebih dari 110 ribu hektare. Sebanyak 13 di antaranya merupakan izin tambang emas, yang dikelola oleh perusahaan besar dengan konsesi mencapai 24 ribu hektare.
Perbandingan ini menimbulkan kesan paradoks: tambang rakyat yang kecil dikejar-kejar aparat, sementara tambang berizin luas seolah beroperasi tanpa gangguan.
Baca juga: Mualem Ditantang, 500 Kendaraan Akan Hadang Tim Penertiban Tambang di Nagan Raya
Ironi inilah yang menuntut kejelasan arah kebijakan Mualem. Apakah penertiban benar-benar diarahkan untuk menegakkan hukum dan menjaga lingkungan, atau sekadar memperkuat kontrol politik atas sumber daya alam?
Dari instruksi ke implementasi
Pemerintah Aceh telah membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) untuk menertibkan tambang ilegal dan memerintahkan dinas terkait melakukan pendataan ulang izin usaha.
Namun, sampai kini belum ada publikasi resmi mengenai berapa alat berat yang telah ditarik, berapa titik tambang yang ditutup, dan sejauh mana aparat penegak hukum terlibat dalam penertiban.
Yang muncul di media baru kasus kecil seperti penyitaan satu ekskavator dan penangkapan tiga pelaku di Pidie, sementara aktivitas tambang di Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Tengah dilaporkan masih berlangsung tanpa hambatan berarti.
Hingga sejauh ini, ketegasan Mualem “masih sebatas podium”, belum menyentuh lapangan. Penindakan baru memiliki makna jika menyentuh aktor-aktor besar yang berada di balik jaringan tambang ilegal, bukan sekadar para pekerja lapangan. Apalagi mengorbankan rakyat kecil yang berada di atas lahan mereka sendiri untuk menyambung hidup.
Jangan lupa. Dalam sistem ekonomi rente yang terbentuk, tambang ilegal bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga struktur kuasa yang melibatkan aparat, pengusaha, dan elite politik lokal.
Menimbang aspek sosial dan jalan tengah
Menertibkan tambang ilegal memang mendesak, tetapi menutup tambang tanpa memberi solusi ekonomi hanya akan memindahkan masalah.
Ribuan warga menggantungkan hidup dari tambang rakyat (PETI). Karena itu, pemerintah perlu membuka skema legalisasi terbatas berbasis koperasi rakyat, dengan pengawasan ketat terhadap dampak lingkungan dan distribusi keuntungan.
Langkah ini tidak hanya memberi keadilan ekonomi, tetapi juga menciptakan mekanisme kontrol sosial yang lebih efektif dibanding pendekatan represif semata.
Inti persoalan tambang ilegal di Aceh bukan terletak pada absennya aturan, melainkan pada lemahnya keberanian politik untuk menegakkannya.
Selama praktik suap dan perlindungan terhadap aktivitas ilegal masih berlangsung, setiap operasi penertiban akan tampak seperti sandiwara berulang: ada aksi di depan kamera, tapi diam di belakang meja.
Karena itu, Gubernur Aceh perlu melangkah lebih jauh:
Membuka data publik secara berkala mengenai titik tambang ilegal, jumlah ekskavator yang ditarik, dan perusahaan yang bermasalah.
Melibatkan lembaga independen dalam audit izin tambang dan pengawasan lingkungan.
Mendorong penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk terhadap oknum aparat atau pejabat yang terbukti menerima setoran dari pengusaha tambang.
Penegasan akhir
Ultimatum Mualem dapat menjadi momentum penting untuk menata ulang tata kelola sumber daya alam Aceh. Tetapi, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada sejauh mana kata “tegas” diubah menjadi “berani”. Berani menindak, berani transparan, dan berani melawan kepentingan besar di balik industri tambang.
Jika tidak, ketegasan itu akan tinggal sebagai gema di ruang pidato: nyaring terdengar, tapi hampa di lapangan.
Aceh membutuhkan kepemimpinan yang bukan hanya berbicara tentang hukum dan lingkungan, tetapi juga menegakkannya dengan integritas. Sebab, yang dipertaruhkan bukan sekadar sumber daya mineral, melainkan masa depan ekologi dan martabat pemerintahan Aceh itu sendiri.[]
M. Ikram Al Ghifari, adalah mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh